𝐌𝐄𝐋𝐄𝐖𝐀𝐓𝐈 𝐁𝐀𝐓𝐀𝐒

391 35 1
                                    

Belum habis rasa dongkolnya pada Zevan—yang sudah sangat lancang menghantam keras dadanya tanpa pertimbangan sehingga kini malah sedikit bengkak—Samudra kembali dihadapkan dengan satu pertikaian lagi di rumahnya. Baru saja melangkah ke dalam, Alzam dan Khansa sudah duduk rapi di ruang tengah. Menantinya, untuk disidak habis-habisan.

"Taruh tasmu, berdiri yang tegak, jangan melawan!" Itu adalah perintah pertama yang keluar dari mulut Alzam dengan datarnya. Samudra mengikuti perintah, berdiri bak patung dan membiarkan ayahnya meraba sekujur tubuhnya. Dari ujung kaki hingga kepala, mendeteksi semua bentuk benda hingga menemukan apa yang dicarinya.

Plak!

Sebungkus rokok dan pemantiknya dilemparkan ke meja. Benda keramat yang berasal dari saku celananya.

Plak!

Bukan barang lain yang kali ini dilempar, melainkan pipi kanan Samudra yang ditampar. Khansa terkejut, tak menyangka suaminya akan langsung main tangan. Niatnya tadi hanya menegur Samudra atas perlakuan nakalnya. Tapi agaknya Alzam sudah kelepasan dan tak sanggup mengontrol diri.

Alzam yang tenang, mendadak melupakan jati dirinya. Emosinya tidak terkendali saat mengetahui Samudra tak menjalani pengobatan dengan baik. Jangankan membicarakan langkah operasi, kemoterapi saja belum dijalani hingga detik ini.

Samudra berusaha untuk biasa saja. Diam jika tak ditanya dan menyahut seperlunya. Ia tak ingin berlama-lama larut dalam pertikaian ini. Dadanya masih begitu sakit, Samudra hendak cepat-cepat tidur untuk peralihan. Tangannya secara perlahan naik untuk memegang pipi, menyeka sedikit noda di pinggir bibir. Tamparan seorang pengacara keras juga ternyata, hingga mampu menyobek bibir kecilnya hingga mengeluarkan darah.

"Kamu nggak mau sembuh?" Alzam membentak dengan kilatan emosi yang sangat tergambar di matanya. Samudra menatap mata itu, ada pula lelah yang terpancar di sana. Ia ber-positif thinking, kasus yang tengah ditangani ayahnya saat ini mungkin begitu rumit, sehingga rasa frustrasinya juga butuh pelampiasan, dan Samudra barangkali adalah orang yang cocok.

"Mau, Yah." Kalau bisa, lanjut Samudra di dalam hati. "Siapa juga yang nggak mau pulih kembali?"

"Tapi, apa sekarang? Kamu nggak ngejalanin perawatan dengan sungguh-sungguh. Malah merokok. Apa namanya kalau bukan membunuh diri sendiri?" Karena dibandingkan faktor genetik, rokok menjadi variabel yang lebih memungkinkan dalam sebabnya menderita kanker. Sebab mematikan yang harusnya langsung ia jauhi, bukan malah merasa nyaman dan tak bisa ia lepaskan lagi.

"Arif selalu minum obat kok, Yah." Samudra melayangkan pembelaan untuk bisa dipertimbangkan oleh sang ayah. Sebandel-bandelnya Samudra, jika untuk masalah obat, ketahuilah dia sangat disiplin. Mau di tengah keramaian sekalipun atau di antara teman-temannya yang sampai sekarang masih tak tahu apa-apa, apabila memang sudah waktunya minum obat, maka dengan cara apa pun—walau harus sembunyi-sembunyi dan menjalankan beberapa tipu muslihat—Samudra akan meminumnya.

"Iya, tapi kamu mematikan fungsi obat itu dengan nikotin. Sama aja nggak ada efek, Rif. Berapa kali ayah bilang, stop merokok, dan mulai kemoterapi. Apa susahnya?"

Samudra sempat tersenyum mendengar pertanyaan terakhir.

"Nggak susah, sih, Yah. Tapi, apa yang bisa Ayah jamin dari pengobatan itu? Kemoterapi nggak membuat Arif langsung sembuh kok." Meski ini adalah sebuah sanggahan, Samudra tetap mengatur pola intonasinya, tetap berada di jalur aman dan tak ingin memancing prahara yang lebih besar.

"Memangnya apa yang bisa langsung terjadi di dunia ini? Semuanya butuh proses. Rokok menyebabkan kamu sakit pun butuh waktu lama."

Berbicara tentang terapi ini, Samudra jadi teringat pada salah satu artikel yang dibacanya. Sekali lagi, meski Samudra tampak acuh pada penyakitnya, tapi pontang-panting ia mencari semua informasi terkait dengan ini. Secara tidak langsung, Samudra juga ingin memantau perkembangan—atau lebih pantas disebut penurunan kondisi tubuhnya.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now