𝐃𝐀𝐑𝐈 𝐇𝐀𝐓𝐈 𝐊𝐄 𝐇𝐀𝐓𝐈

372 21 0
                                    

Langit menghamparkan keindahannya, sinar jingga menghiasi hampir di semua sudutnya. Samudra keluar dari lingkungan ekskulnya, menghampiri seorang gadis yang termangu di depan sana. Sosok yang sejak tadi menunggunya, bersikeras walau Samudra sudah berkali-kali memintanya pulang duluan. Gadis itu, yang di beberapa waktu belakangan, selalu saja menemaninya.

Dipintanya gadis itu untuk bangkit dari duduknya. Mereka harus lanjut berjalan ke parkiran, kemudian pulang ke rumah karena hari sudah hampir gelap. Kawanan burung saja bahkan sudah melintasi cakrawala untuk segera pulang ke rumahnya.

Samudra mengambil helm, memberinya satu kepada Adhisti. Gadis itu menyambutnya, namun tidak langsung memakainya. Sontak, menimbulkan ekspresi bertanya yang terpancar dari mata Samudra.

"Lo capek nggak?" Adhisti menembaknya dengan pertanyaan juga. Samudra menggeleng.

"Ada tempat yang mau lo datangi? Biar kita ke sana." Menurut penalaran singkatnya, barangkali itulah yang dimaksudkan Adhisti.

"Enggak. Cuma nanya aja."

Samudra menaikkan kedua alisnya. Bisa begitu?

"Gue cuma khawatir." Adhisti kali ini terlihat seperti bukan dirinya sendiri. Tatapannya sendu, kepribadiannya mendadak kalem, tutur katanya bahkan jadi lebih lembut. Sikapnya yang agresif dan seringkali anarkis menguap entah kemana.

"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Gue cuma menjalani keseharian apa adanya. Seperti biasa. Tidak akan terjadi apa-apa." Samudra menenangkannya, tersenyum teduh, kemudian mengelus pelan puncak kepala Adhisti.

Sejak melihat langsung Samudra pingsan waktu itu, atau setelah mendengar jelas vonis penyakit atas sepupunya, Adhisti menjadi semakin was-was. Kian gencar untuk mengawasi Samudra, memastikan lelaki itu baik-baik saja. Namun di sisi lain, Samudra tak ingin semua itu. Ia ingin dipandang sehat-sehat saja. Semua vonis itu, anggaplah tidak pernah terjadi.

"Lo nggak capek gini terus?" Tatapan sendunya kini menghujam manik hitam Samudra. Membuat ia terdiam sebentar untuk mencerna jawaban yang pas.

"Enggak. Kenapa harus capek?" Lelaki itu menjawab santai.

Adhisti sontak memalingkan wajahnya, tawa miris juga ikut keluar diiringi matanya yang berkaca-kaca. Ditatapnya kembali kedua mata sepupunya.

"Stop berpura-pura, Samudra. Berhenti apatis dari keadaan yang sebenarnya. Jangan anggap gue bego. Gue tau kok, belakangan ini, sehabis latihan, lo butuh bantuan oksigen, kan?" Dengan musabab ini, Adhisti selalu keukeuh untuk menemaninya berlatih—meski hanya menunggu di luar area karena kolam itu khusus lelaki. Ia ingin memastikan, bahwa Samudra tidak akan drop begitu saja, terlebih, saat tak ada siapa-siapa di sampingnya.

"Tau dari mana?" Samudra masih bersikap tenang dengan lengkungan senyum tipis di bibirnya.

"Nggak perlu nanya itu," Adhisti menyambar cepat.

Sadar bahwa suasana sudah sedikit runyam, Samudra meraih sebelah tangan Adhisti. Disimpannya jemari mungil itu di dalam genggamannya. Dibalik kehangatan yang melekat di tangannya.

"Dhis, kalau gue boleh minta satu hal. Tolong, jangan selalu mengingatkan bahwa gue sakit. Karena dengan bayangan pahit itu, mau nggak mau gue harus berhenti dari ekskul renang. Toh, paru-paru gue udah nggak sanggup." Meski ini menyakitkan, Samudra melontarkan dengan suara tenang dan halus. Gurat di wajahnya juga masih begitu indah, tidak ada kecewa, marah, sedih, atau semacamnya.

"Dengan melupakan itu pun, lo nggak menjadi lebih baik, Sam. Lo mengacuhkan penyakit itu kemudian berlagak biasa saja, kan? Lo boleh kok, menjalankan keseharian tanpa ada apa pun yang berubah. Lo boleh renang sepuasnya. Asalkan ... Rokok jadi pengecualian." Itu intinya, itu dasarnya, dan itu garis mutlaknya. Orang tua Samudra sendiri bahkan tak akan membatasi kegiatan anaknya, selama ia masih mengaku sanggup, maka silakan. Namun kalau berkaitan dengan rokok, tidak ada toleransi. Itu kebiasaan yang sangat menyangkut hidup matinya.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum