𝐃𝐄𝐄𝐏𝐓𝐀𝐋𝐊

347 27 7
                                    

Semegah-megahnya rencana barulah berarti ketika dilaksanakan. Menepati janji dan tak menganggap wacana ini hanya obrolan belaka, Samudra bersama dengan kedua temannya—plus sepupu—sudah berangkat menuju vila keluarganya. Khansa dan Aqila menyusul di sore hari, karena paginya masih mengikuti acara peringatan maulid nabi di kompleks mereka. Agenda tersebut adalah maksud di balik tanggal merah hari ini.

Secara keseluruhan, mereka baru tiba di vila saat senja sudah jatuh di penghujung Sabtu. Malam minggu dianggap sebagai waktu puncak, sebab keesokan siangnya mereka akan kembali lagi ke rumah masing-masing. Senin menanti mereka, mengharuskan para insan yang berstatus sebagai siswa ini agar memiliki waktu istirahat lebih.

Selepas waktu Isya, mereka melangsungkan acara bakar-bakar di halaman. Ayam, sosis, jagung, dan semacamnya tertata rapi di atas panggangan. Meski hanya liburan singkat, mereka tetap harus menciptakan kesan baik.

Langit indah di malam itu. Cuaca cerah seperti yang Samudra dambakan. Langit bertabur bintang, dari ketinggian daerah ini Samudra bisa menyaksikan keindahan langit dengan nikmatnya. Kembali mengagumi ciptaan Tuhan untuk yang ke sekian kalinya.

Mereka makan-makan sampai jam sepuluh tiba. Saat Aqila sudah mengantuk dan Khansa harus pamit lebih dulu untuk menemani putrinya tidur. Empat muda-mudi ini dibebankan tugas untuk berberes, merapikan semua peralatan yang sudah digunakan.

Pukul sebelas, semuanya selesai. Rapi, bersih dan sudah kembali ke tempat semula. Mereka tak langsung tidur, berbekal pakaian hangat yang melekat di masing-masing badan, mereka kembali ke halaman dan duduk di hamparan rumput.

Arsalan, Reza, Samudra, kemudian Adhisti, begitulah jajaran mereka terbentuk, berurutan bak sebuah saf. Awal agendanya hanya diam, termenung entah memikirkan apa. Pandangan mereka lurus ke depan, ada pula yang menunduk sambil memainkan rumput. Desir angin terus mengembus, menemani ke empat anak manusia yang masih memikirkan topik pembuka.

Waktu semakin larut, malam semakin pekat, kesunyian semakin merundung. Candaan tidak cocok untuk dilontarkan. Maka deeptalk adalah satu-satunya pilihan paling tepat.

"Kalian punya pacar?" Mungkin itu kalimat pembuka deeptalk yang paling absurd. Dengan tatapan yang masih mengarah ke depan, Samudra bertanya pada semuanya. Adhisti yang beberapa waktu lalu putus, sampai sekarang belum menemukan pengganti. Arsalan dan Reza, sejak zaman baheula tak punya tambatan hati. Samudra ingin menarik kembali pertanyaannya karena sudah duluan tahu jawabannya.

"Nggak. Cewek yang gue taksir belum tentu mau." Reza menyahut, di luar ekspektasinya.

"Siapa yang lo taksir?" Arsalan sangat mewakili rasa penasarannya. Sewajarnya seorang lelaki saat jatuh hati pada lawan jenisnya, pasti ada tindak pendekatan yang dilakukan. Namun, sampai detik ini berlangsung pun, belum pernah ia lihat Reza mendekati perempuan.

"Ada lah," sahutnya sok misterius. "Gue nggak mau bersaing sama teman sendiri." Reza semakin tak bisa ditebak.

Samudra mengeryitkan kening. Adakah mereka mencintai orang yang sama? "Lo lagi suka sama orang?" Arsalan menggeleng yakin. Kesibukannya masih amat padat sehingga belum sempat. "Gue juga lagi nggak suka sama siapa-siapa." Samudra bergumam. Lantas, teman mana yang Reza anggap sebagai saingan?

"Kalau teman yang lo maksud adalah kita, lo nggak perlu bersaing, bro. Kita nggak suka siapa-siapa." Samudra menimpali.

"Bukan perihal kita yang mencintai orang yang sama. Tapi perihal ceweknya." Reza menggantung kalimatnya. "Gue merasa dia mencintai salah satu dari kalian."

"Cintanya ibarat garis yang mempunyai beberapa titik. Gue suka dia, dia suka teman gue. Kapan bersatunya?"

"Siapa, sih, anjir?" Samudra mendadak geram. Ini konsepnya bukan deeptalk, tapi rencana terstruktur untuk membuatnya susah tidur. Reza begitu kurang ajar telah membuatnya penasaran di malam buta.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now