𝐀𝐊𝐇𝐈𝐑 𝐃𝐀𝐑𝐈 𝐒𝐄𝐁𝐔𝐀𝐇 𝐑𝐀𝐇𝐀𝐒𝐈𝐀

366 38 1
                                    

Masih pagi buta, tapi Reza sudah diherankan dengan kelakuan dua sobat durjananya. Arsalan dengan santai mendatangi tempat duduknya dan berkata, "Pindah ke belakang." Anak itu memerintahkannya, untuk segera duduk dengan Samudra, bertukar lapak dengan si peminta.

Reza tercengang, di kelas mereka tidak ada kebijakan rolling tempat duduk atau bergantian teman sebangku. Siapa Arsalan berani-beraninya membentuk kebijakan baru? Saat Reza melayangkan protes, ia menyahut datar, "Duduk aja." Mau tak mau Reza bergerak tanpa bantahan.

Samudra sama dinginnya. Teman yang sejatinya se-frekuensi dengannya mendadak berubah bak kulkas dua pintu—Reza tak ingin berlebihan dengan menyebutnya kulkas sepuluh pintu, karena enam belas tahun dia hidup di dunia, tak pernah dilihatnya benda semacam itu. Saat ditanya apa gerangan maksud Arsalan, ia menggeleng tak tahu, kemudian fokus lagi menatap hp. Reza benar-benar dikacangi hari ini.

Guru masuk. Pelajaran di mulai. Anak-anak budiman ini mengeluarkan selembar kertas, menyiapkan pena serta kepala lengkap dengan otaknya, karena sebentar lagi guru akan mendiktekan soal. Mereka kuis dadakan. Samudra baru saja kehilangan kunci jawaban berjalannya.

Kelas senyap. Setelah sepuluh soal itu dikumandangkan, mereka larut dalam fokusnya masing-masing. Apalagi Arsalan, dia tak boleh diganggu sedikit pun. Hari ini dia bak kaum hawa yang sedang PMS, sangat sensi.

Reza bersuara, begitu lirih karena konteksnya ia sedang berbisik. "Gue nggak nanya jawaban, karena tau otak lo agak beku. Gue cuma mau nanya, bermasalah kah lo sama Arsal? Kalau iya, cepetan minta maaf. Kalau nggak, kita harus keluar dengan kertas kosong." IQ sudah jongkok, tanpa Arsalan, mereka hanya bisa mengarang bebas.

"Nggak akan dimaafin." Samudra menyahut sama pelannya. Wajahnya masih datar.

Reza berdecak. "Lo … udah pesimis duluan. Coba dulu." Tangannya begitu santai mendorong pelan lengan Samudra.

"Berpuluh kali udah gue coba." Sejak di rumah sakit kemarin, pun melalui banyak pesan WhatsApp. Namun bukannya mendapat jawaban baik, Arsalan malah memblokir nomornya. Semarah itu sang teman pada dirinya.

Reza melirik dan mulai agak serius. "Lo, kan, baru balik dari Singapura. Baru sekolah hari ini. Ributnya kapan, anjir?" Ia seperti orang kudet yang ketinggalan hot news.

"Kemarin." Samudra menatap kertasnya yang masih putih bersih. Dengan segenap keyakinan hati, ia menggenggam pulpen, segera mengerahkan segala daya upaya meski hanya asal-asalan. Yang penting, ada jawaban.

"Kok bisa? Dimana? Kenapa?" Reza menembaknya dengan banyak pertanyaan.

"Di rumah sakit. Lo juga marah kalau gue kasih tau, Za." Samudra menghela nafas panjang, ditatapnya ke samping dengan serius. Reza mengerutkan kening.

"Nggak, gue nggak akan marah. Coba, deh, kasih tau. Apa?" Keponya sudah level seratus.

"Catat! Lima menit kemudian, perkataan lo barusan akan terlanggar. Catat baik-baik!" Samudra percaya, Reza mungkin tak semarah Arsalan, tapi minimal, ia akan marah sesaat. Dirinya juga akan merasa dikhianati kepercayaannya, dibohongi, dan merasa tak dianggap sebagai teman. Terlebih, ia orang terakhir yang tahu.

Reza mengangguk-angguk. Menanti kalimat selanjutnya dari Samudra. Jantungnya seketika berdebar, seolah duluan merasakan aura tak baik dari perkara ini.

"Arsal marah saat tau gue kanker." Penuh tekad dan kesiapan untuk Samudra mengucapkan ini. Tapi Reza dengan santainya malah merespon, "Kantong kering? Arsal marah karena lo lagi bokek? Dih, cuma masalah uang?"

Samudra menghela nafas panjang. Memohon kepada Tuhan untuk meluaskan kesabarannya. Ini waktu serius, bukan bercanda. Samudra tak akan meladeni guyonan Reza.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz