𝐖𝐀𝐂𝐀𝐍𝐀

320 29 0
                                    

Usai menghadapi semua lika-liku takdir. Memasang badan dan siap remuk dihempas semua cobaan hidup. Samudra pada akhirnya juga bisa menemukan kedamaian. Segala kekecewaan sudah ia terima dengan lebih ikhlas. Segenap cobaan yang datang sudah membentuk dirinya agar semakin lapang dada. Hidupnya terjalani dengan lebih baik setelah melakukan itu.

Kemoterapi siklus kedua juga membawa kebahagiaan bagi dirinya. Tubuh Samudra membaik, jauh dari sebelumnya. Perkembangan yang amat pesat bagi kesehatannya. Sudah jarang terjadi sesak nafas, tak ada lagi riwayat pingsan, pun berkurangnya rasa kelelahan saat melakukan aktivitas. Bagi pasien pengidap kanker paru-paru stadium tiga seperti dirinya, ini bisa disebut sebagai sebuah keajaiban.

Di sisi yang lain, kepribadiannya juga sudah semakin baik. Demi mempertahankan kestabilan ini, Samudra sudah benar-benar berhenti dari kegiatan mengisap nikotin. Tidak ada lagi niatan untuk menentang nasihat dokter. Tidak ada lagi pemaksaan yang dibebankan kepada tubuhnya. Semua sudah benar-benar berjalan damai. Pasca pengunduran diri kala itu, Samudra benar-benar tak terlibat lagi dengan kegiatan berat.

Malam ini, setelah menuntaskan makan malam, sehabis shalat Isya dan adik kecilnya sudah tertidur, Samudra datang menyambangi ruang kerja bundanya.

"Kenapa, Rif?" Khansa langsung bertanya ketika sang putra melongokkan kepala dari bibir pintu.

"Boleh masuk?" Ia bertanya segan. Masih di posisi yang sama.

"Silakan."

Barulah setelahnya Samudra menegakkan tubuh, melangkah masuk kemudian kembali menutup pintu. Ia menarik sebuah kursi di dekat meja kerja Khansa, kemudian mendudukkan diri di sana.

"Masih lama, Bun?" Tanyanya menyinggung pasal pekerjaan. Memperhatikan tumpukan berkas yang menggunung di depan bundanya.

"Lama, kalau terus dituruti. Pekerjaan nggak ada habisnya." Khansa tersenyum lembut. "Ada apa kemari?" Karena tak biasanya Samudra masih terjaga di pukul sepuluh malam. Karena telah mengonsumsi obat setelah makan malam, maka biasanya jam segini ia sudah terbuai di alam mimpi. Pun, tidak biasanya Samudra berkunjung ke ruang kerjanya. Jika ada hal genting yang ingin disampaikan, pesan singkat melalui ponsel lebih sering dijadikan pilihan.

"Sabtu nanti tanggal merah, kan?" Khansa mengangkat alisnya. Tidak terlalu memperhatikan kalender di bulan ini. Jika Samudra tak bertanya, ia tak spontan melihat sebuah kalender di mejanya dan menemukan satu angka merah di bulan November itu.

Khansa mengangguk. "Kenapa memangnya?"

"Perusahaan libur?" Samudra masih menyimpan topik utamanya.

"Libur. Kalau memang tanggal merah, maka tidak ada pengecualian."

"Bun." Samudra masih memanggil ragu. "Boleh Arif minta sesuatu?"

"Apa itu?" Khansa agak khawatir. Karena jika berbicara dengan Samudra di larut malam, pembahasannya seringkali tidak enak untuk didengar. Khansa masih trauma dengan dialog mereka di dini hari waktu itu.

"Minggu depan, kan, kita mau ke Singapura." Dilatar belakangi oleh kondisinya yang sudah membaik, maka operasi rencananya akan dilakukan dalam waktu dekat. Tujuan mereka ke sana minggu depan adalah untuk pemeriksaan awal.

"Boleh nggak kalau pekan ini Arif liburan sama teman-teman? Sabtu Minggu aja," lanjutnya menjelaskan maksud dari dirinya yang menyinggung tanggal merah itu. Hari aktif sekolah di Gardapati adalah Senin sampai dengan Sabtu. Jadi, sulit sekali jika ingin berlibur di luar masa cuti semesteran. Maka dari itu, tanggal merah yang berpas-pasan dengan hari Sabtu ini sangat menarik perhatiannya.

"Emang mau kemana?"

Samudra mengelus tengkuknya. "Sebenarnya Arif pun belum tahu tujuannya. Intinya pasti agak jauh dari sini." Jangankan tujuan, mengajak teman-temannya saja belum. Samudra hanya butuh izin sekarang.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now