𝐒𝐄𝐇𝐀𝐑𝐆𝐀 𝐍𝐘𝐀𝐖𝐀

345 35 4
                                    

Semenjak pengunduran dirinya, Samudra tidak pernah terlihat lagi di area kolam. Ia sudah memutuskan untuk absen latihan hingga event ini selesai. Samudra pada akhirnya bisa sedikit mengistirahatkan tubuhnya, menghindari hal-hal berat demi kestabilan kondisinya. Karena sebentar lagi, kemoterapi siklus kedua akan dijalankan. Tubuhnya harus tetap sehat hingga hari itu tiba jika tak ingin pengobatannya ditunda begitu saja.

Terkait dengan pertemanannya bersama Reza dan Arsalan, masih berjalan biasa saja. Baik dan berlalu sebagaimana mestinya. Pasal rahasia atau hal yang disembunyikan itu, tidak terlalu diungkit lagi. Mungkin dua temannya itu sudah bosan, atau juga lelah dalam mengulik informasi. Samudra sendiri nyatanya belum siap untuk memberitahu banyak orang. Bahkan sempat berpikir untuk menyimpan rapat tentang kondisi ini hingga selamanya.

Jam istirahat tiba. Hiruk pikuk terjadi layaknya biasa. Banyak murid berduyun-duyun pergi ke kantin untuk mengisi ulang stamina tubuh. Samudra beserta kedua temannya ikut serta. Mereka memesan makanan dan makan di salah satu meja.

Di luar ekspektasi, jauh dari angan dan pikirannya, seseorang datang dengan kaku, menghampiri Samudra. Matanya menyipit, mengamati seseorang yang lumayan ia kenali. "Ada apa?" Tanyanya pada anggota club renang itu.

"Kak Samudra, kan? Dipanggil Coach Fandi. Segera ke tempat latihan, ya." Ia menyampaikan pesan dengan agak segan.

Samudra kebingungan. "Ada kepentingan apa? Gue udah mengundurkan diri beberapa hari lalu." Lagipun, bukankah sang pelatih sedang marah besar dengannya?

"Nggak tau, Kak. Intinya Kakak diminta untuk segera ke sana." Rekan sekaligus juniornya itu pamit undur diri. Ia lebih dulu meninggalkan kantin dan mungkin akan menuju ke kolam renang.

Samudra sempat mengulur waktu sebentar, ia perlu menghabiskan makanannya karena harus minum obat sebentar lagi. Setelah menyeruput minumannya, lelaki itu langsung berdiri.

"Gue duluan, ya? Kalau emang urusannya lama, terus guru udah masuk, tolong izinin," pesannya sebelum berlalu pergi. Arsalan menganggukinya. Di sisi lain, ia ingin diberi tugas mendadak oleh tim media agar bisa membuntuti Samudra ke sana. Dan tentu saja, bisa mengetahui persoalan apa lagi yang menimpanya?

Pintu menuju kolam dibuka. Karena ini adalah tengah hari, latihan jelas tidak berlangsung. Siapa juga yang mau gosong dengan sukarela?

Samudra celingak-celinguk, mencari keberadaan orang yang memanggilnya. Tapi semua sudut arena sudah diamatinya, tidak ada satu manusia pun di sana. Ia lanjut berjalan, ruang staf adalah pilihan akhir.

Tidak seperti Arsalan yang kala itu langsung menyelonong masuk, Samudra lebih beradab dengan mengucapkan salam terlebih dahulu. Benar seperti dugaannya, Coach Fandi ada di sana. Menyambutnya dan menyuruhnya untuk duduk di salah satu sofa.

"Bapak manggil saya? Ada apa?" Samudra to the point.

Pelatihnya itu menghela nafas panjang. Tampak berat segenap bebannya di H-3 sebelum pertandingan. "Keputusanmu tempo hari, sudah dipikirkan matang-matang?" Mereka membahas pasal pengunduran diri.

Samudra mengangguk yakin.

"Tidak bisa dipertimbangkan lagi?"

"Dipertimbangkan bagaimana?"

Beliau menghela lagi. "Kita kekurangan anggota. Tidak ada yang bisa menggantikan kamu di kelas dua ratus meter putra. Ini sudah H-3, kontingen bisa tidak lengkap."

"Masak tidak ada, Pak? Puluhan atlet di sini, satu pun tidak bisa menutupi kekurangan?" Samudra sangat tidak percaya.

"Kamu sendiri tau, semua atlet punya jobdesk masing-masing. Tidak ada yang bersedia main rangkap." Main rangkap adalah istilah yang mereka pakai untuk menggambarkan atlet yang bermain di dua kelas sekaligus dalam satu event.

"Benar-benar tidak ingin kembali? Kamu kelihatannya sudah sehat, Samudra."

Samudra tersenyum tipis. "Di luar mungkin sehat, Pak. Dalamnya rusak."

Kemoterapi sudah di depan mata. Memaksa tanding sama juga halnya dengan bunuh diri. Samudra benar-benar tidak bisa memforsir tubuhnya, karena ada gangguan sedikit saja, pelaksanaan kemoterapi bisa langsung dipertimbangkan.

Untuk beberapa hari ke depan ia juga sudah mulai bolak-balik ke rumah sakit, melakukan pengecekan rutin dan macam lainnya. Itu jelas membatasi waktunya untuk latihan. Meski menurunkan Samudra dalam event ini, hasilnya bisa dipastikan tidak akan maksimal.

"Saya sudah hubungi wali kelasmu, memeriksa riwayat cutimu dengan alasan sakit. Kata beliau, tentang gejala tifus itu sudah sedikit lama kejadiannya. Minimal, bukankah sudah delapan puluh persen pemulihannya?" Coach Fandi masih kuat membujuk.

Samudra mengangguk. "Iya, memang sudah hampir pulih."

"Nah!" Pelatihnya berseru senang. "Harusnya kamu bisa ikut tanding, kan?"

Dengan senyum getir Samudra menggeleng. "Maaf, Pak. Tidak bisa. Seperti yang saya katakan waktu itu, tidak ada toleransi untuk event kali ini. Mungkin pertandingan ke depan bisa dipertimbangkan lagi."

"Tidak ada pertandingan lagi ke depannya kalau kamu menolak ini." Suasana berubah panas. Samudra mengangkat alis, mempertanyakan makna kalimat itu dengan lebih jelas.

"Seorang pemain inti yang dinilai sanggup namun memilih mundur sepihak, dengan terpaksa harus dikeluarkan dari club. Pertandingan ini adalah penentuan terhadap karirmu sebagai atlet Gardapati."

Samudra menarik nafas panjang. Dari gurat wajah ia mungkin biasa saja, tapi di dalam sana, hatinya terasa remuk bahkan seperti dicabik-cabik. Ia masih kelas sebelas, masih tersisa beberapa bulan waktunya hingga masa purna tugas. Tapi kenapa mesti dikeluarkan dengan prosedur se-menyakitkan ini?

Matanya terpejam sejenak. Dengan keteguhan hati, Samudra bertutur; "Tidak perlu repot-repot mengeluarkan saya. Pengunduran diri kemarin, anggap saja pengunduran diri selamanya. Saya bukan hanya berhenti dari pertandingan, tapi juga memutuskan keluar dari klub renang."

"Bagi Bapak, pertandingan itu mungkin penentuan karir. Tapi bagi saya, itu penentuan hidup dan mati. Jika saya memaksa ikut, maka pertandingannya akan seharga nyawa."

"Kondisi seseorang tidak bisa dilihat hanya dengan mata. Saya bukannya banyak mengeluh atau bermain drama agar dikasihani, tapi beginilah adanya, Pak. Tolong dimaklumi bahwa saya tidak sanggup lagi untuk melanjutkan."

"Medali masih bisa direbut oleh siapa pun. Tapi suatu jiwa yang mati tidak akan bisa dihidupkan kembali. Gardapati masih punya atlet lain, tapi orang tua saya cuma punya satu putra. Yang kalau kenapa-napa tidak akan ada gantinya. Tolong jangan menuntun saya untuk jadi anak durhaka karena melanggar larangan mereka untuk berhenti dari pertandingan ini."

Coach Fandi tertegun dalam diam. Senyum Samudra tak berhasil menyembunyikan banyak luka di jiwanya. Sang pelatih jadi berpikir, saat kata mati bahkan turut diikutsertakan, apakah gejala tifus hanya sebatas alibi? Ini bukan drama untuk dikasihani, tapi skenario untuk menutupi sesuatu yang lebih besar.

Meski seorang pelatih, Coach Fandi tetaplah seorang guru yang pernah mendalami materi perihal psikologi anak. Samudra hanya tegar saat bersuara, tapi di matanya terpancar jelas penolakan atas kalimatnya sendiri. Jiwanya sedang bertengkar, antara ingin egois atau menerima keadaannya.

"Maaf berlipat ganda karena sebagai siswa saya begitu lancang. Saya pamit dulu, Pak. Kelas selanjutnya sudah dimulai. Terima kasih atas semua didikan Bapak selama ini. Terima kasih sudah membentuk saya menjadi seorang pemain inti untuk membela nama Gardapati. Saya secara resmi undur diri sebelum masa purna tugas." Itu penegasan terakhirnya, sebelum bangkit dan menyalami tangan Coach Fandi sedikit lama.

Samudra meninggalkan arena latihannya, lagi-lagi dengan sesak yang begitu menyiksa. Mimpinya untuk berkarir panjang di cabang olahraga ini sudah benar-benar kandas. Nama Arif Samudra Mahawira—mulai detik ini—tidak akan pernah lagi bersanding dengan nomor lintasan.

Masih di ruang staf, hanya berselang detik sejak Samudra keluar. Seseorang masuk menghampiri Coach Fandi. Seseorang yang tidak pernah diduga dan diekspektasikan oleh siapa pun tiba-tiba berkata;

"Saya siap menggantikan Samudra, meski harus menanggalkan identitas pribadi."

•••

Siapa tuh kira-kira yang bakal 'menggantikan' Samudra?🌚

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now