𝐌𝐎𝐍𝐎𝐋𝐎𝐆

386 34 2
                                    

Saat semua orang sudah terlelap dilena malam. Secara senyap dan penuh ketenangan, Arsalan datang sendiri ke rumah sakit dan ICU menjadi tujuannya. Jam untuk berkunjung sudah pasti tidak tersedia di malam buta seperti ini. Tak mengapa, Arsal tak perlu masuk ke dalam. Di luar, di balik jendela kaca pembatas ruang steril itu pun sudah cukup baginya.

Dipandanginya sang teman yang masih terbaring lemah di dalam sana. Sudah satu minggu, sudah tujuh hari mata itu sibuk terpejam. Begitu erat, seolah dunia ini tak lagi indah baginya hingga Samudra sudah muak melihatnya.

Tangannya masih berbalut perban, kepalanya, bahkan sampai kakinya yang mungkin tidak terlihat saat itu—karena tertutup selimut. Baju yang dikenakannya sedikit terbuka, memberi ruang pada kabel-kabel kecil nan banyak itu untuk terus terhubung pada kotak monitornya. Kotak penuh garis itu tak memberikan kabar buruk, tapi tak juga baik. Sedang-sedang saja, bahkan bisa terbilang selalu berada di garis rawan.

Tujuh hari masa komanya, selama itu juga Samudra belum menunjukkan perkembangan atas kondisinya. Tak ada kenaikan yang berarti, padahal segenap obat yang dibutuhkan sudah dipasok sesuai dengan prosedur yang ada.

Ventilator setia menemaninya. Melalui proses intubasi selang itu dimasukkan ke dalam mulutnya, membuat bibir tipisnya sedikit terbuka. Melalui hidung juga tak kalah perannya, demi menjaga suplai nutrisi ke tubuh itu, sebuah selang lain bernama nasogastrik dipasangkan.

Tangannya ditempeli infus, jarinya diapit oleh oximeter. Dilihat dari sudut mana pun, kondisi Samudra sekarang memang cukup mengenaskan. Terlebih jika sudah mengetahui kenyataan, bahwa gagal jantung masih kerap terjadi sampai dokter terheran-heran. Kenapa kondisinya tak pernah stabil? Adakah yang salah dari perawatan mereka? Dirasa tidak.

"Bangun, Sam. Tidur aja nggak bisa menyelesaikan masalah. Bangun, temui gue, ayo berantam. Lo yang menyerang, biar gue yang diam. Diam bukan untuk menunjukkan sehebat apa sebuah teknik bertahan, tapi diam untuk menjadi samsak. Ayo, Sam. Pukul gue sekuat-kuatnya. Sampai sakitnya setara dengan semua ucapan gue waktu itu."

Berhari-hari Arsalan kembali mengingat pada tragedi yang merusak hubungan mereka. Merutuki semua ucapan buruknya dan sumpah serapah yang tak seharusnya ia keluarkan. Terputar bak kaset rusak, memori keributannya bersama Samudra, terus-menerus di dalam otaknya. Penyesalan—seperti yang dikatakan Adhisti—memang sukses menenggelamkannya.

"Lo brengsek, Sam. Lo pecundang. Di hadapan teman aja lo nggak bisa berterus terang. Malah main api di belakang dengan banyak kebohongan."

"Gue yang brengsek, Sam. Nggak punya akal sampai ngomong begitu. Pasti sakit banget, ya? Dipatahkan semangatnya oleh teman sendiri?" Dijawabnya semua kalimat yang sedang hilir mudik di pikirannya.

Arsalan terkekeh miris. "Gimana lo mau terus terang, ya, Sam? Kalau wujud teman lo aja macam binatang. Pilihan lo waktu itu benar kok. Gue emang nggak pantas untuk dijadikan tempat cerita. Tabiatnya aja sudah begini, rusak."

"Lo nggak pernah ada di posisi gue, Sal. Lo nggak pernah paham sama apa yang gue rasain."

"Iya, Sam. Sekarang gue baru tersadar. Gue emang nggak pernah ngerasain itu semua. Gue nggak pernah tahu sakitnya kanker paru. Gue nggak pernah kenal alat-alat medis yang sekarang menempel di tubuh lo. Gue nggak pernah merasakan sakitnya efek kemoterapi. Gue emang nggak bisa memahami lo, Sam. Gue cuma bisa bacot, sok-sokan berempati, padahal semua itu nggak bisa gue lakukan."

"Setakut itu gue kalau lo sampai kecelakaan."

"Gue munafik, Sam. Berani ngomong gitu, padahal pas hari lo kecelakaan aja, gue mesti bergulat dengan batin sendiri, memilih menjenguk atau membesarkan ego?"

Jelas terekam di ingatannya, dia yang sempat mengulur waktu—meski hanya dalam hitungan jam—demi mempersiapkan diri untuk bertemu Samudra, plus meruntuhkan kemarahannya yang tak berdasar.

"Lo bilang ingin menyimpannya sendiri, kan? Oke, silakan. Terluka lah sendiri, rasakanlah sakit itu sendiri, bahkan ... mati lah sendiri."

"Nggak, Sam! Jangan memendam semuanya sendiri, mari berbagi, sesakit apa pun kenyataannya. Buka mata lo, Samudra! Gue udah datang ke sini. Gue udah nemuin lo lagi. Gue udah berusaha ngomong sama lo. Ini yang selalu lo tunggu, kan?"

"Andai sakit di sekujur tubuh lo itu bisa ditransfer rasanya, sini, Sam, kasih ke gue. Jangan mati! Jangan secepat itu lo ninggalin gue. Kasih gue kesempatan, Samudra. Beri waktu agar gue sempat meminta maaf secara langsung. Seandainya ngomong banyak maaf itu nggak lama, mungkin akan gue ulang kata itu sampai seribu kali. Tapi, untuk mempersingkatnya, akan gue wakilkan dengan … Sam, maafin gue, seribu kali." Arsalan terkenang pada pesannya tempo hari.

"Sekian lama lo pengin permintaan maaf lo gue terima, kan? Dengar baik-baik, Sam! Malam ini, gue terima dengan setulus hati. Bangunlah! Bukan cuma untuk melihat gue dan Reza, tapi untuk melihat pertemanan kita yang kembali utuh. Sam, masih banyak hal-hal indah yang bisa kita lakuin bertiga. Bisa, ya? Sadar kembali?"

Lagi-lagi, isi pesannya terkenang dalam jiwa Arsalan. Untuk beberapa waktu ia terdiam, menekuri lantai di bawah sinar yang temaram. Koridor ICU memang cocok untuk hati yang tengah layu. Jalannya selalu senyap, karena tak sembarang orang bisa dan mau lalu lalang kemari. Ketika kesedihan menghujam, maka tak ada satu insan pun yang bisa mengganggu. Selain mengerikan, menyesakkan dada, ICU juga memiliki sisi tenangnya.

" ... Melainkan lo dengan sebuah pengkhianatan. Khianat akan sebuah kepercayaan, khianat dengan banyak kebohongan."

Kalimat paling durjana terputar di kepalanya. Kalimat yang menjadi dasar selesainya pertemanan mereka kala itu. Masih dengan kepala yang menunduk dalam, Arsalan berkata pada lelaki lemah di dalam sana.

"Gue yang berkhianat pada pertemanan. Gue yang terlalu angkuh dalam mempertahankan ego ketimbang toleransi terhadap kesalahan orang lain. Benar kata Reza, meski lukanya hampir sama, tapi lo dan abang gue punya konteks yang berbeda."

"Dia membawa rahasia sampai mati, sedangkan lo masih menyempatkan diri untuk membaginya. Kepada Abang, gue terluka bercampur dengan emosi. Tapi tentang lo, lebih tepatnya gue mungkin marah ke diri sendiri. Kenapa selama ini telat menyadari kondisi lo? Dan kenapa, tak bisa mengontrol diri saat lo membeberkan semuanya. Bukankah itu yang gue inginkan?"

"Dari Adhisti gue tahu, masalah ini berimbas berat pada kondisi kesehatannya. Samudra terlalu memikirkan kita, orang-orang brengsek yang seharusnya udah dia buang jauh-jauh dari ingatan. Terlepas dari tragedi kecelakaan ini, andai masalah ini tidak terjadi, andai kemarahan lo nggak berlarut-larut, mungkin kondisi Samudra akan terus stabil hingga operasinya. Samudra tidak perlu di-opname di waktu-waktu terakhir sebelum tindakan itu. Sadar, bro! Seandainya Samudra drop, bukan karena kecelakaan ini, kita termasuk salah satu penyebabnya. Selain mematahkan semangatnya, haruskah kita juga membunuhnya secara tidak langsung? Teman macam apa?"

Percakapannya dengan Reza beberapa hari lalu juga cukup membekas. Reza yang menyadarkannya, membawanya hingga ke titik paling menyesal seperti ini.

"Sam, nggak cukup seribu baris maaf ini gue haturkan. Sampai mulut ini berbusa pun mungkin nggak akan setimpal konteksnya dengan semua yang udah gue ucapkan. Tapi dengan setulus-tulusnya, serendah-rendahnya hati, cuma ini yang bisa gue ucapkan; maaf."

"Di lain waktu, apabila hal ini terjadi lagi, maka jadilah Samudra layaknya sosok yang gue kenal. Jadilah Samudra dengan jiwa yang awur-awuran. Jadilah Samudra yang begitu panas jika ada keributan. Jadilah Samudra yang tak akan pernah mengemis maaf. Tak pernah peduli pada orang yang sudah sekali mengabaikannya. Sam, kami nggak cukup penting sampai lo pikirin kayak gitu," tutup Arsalan pada ucapan panjangnya. Ucapan yang sebenarnya hanya monolog, bukan dialog seperti yang ia harapkan.

Pada waktu yang sudah tiba di dini hari, Arsalan melangkah pelan meninggalkan rumah sakit. Membawa penyesalan beserta malu yang menggunung atas semua kesalahannya belakangan ini.

•••

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now