𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆 𝐏𝐈𝐋𝐈𝐇𝐀𝐍

441 28 1
                                    

Sembari menunggu waktu latihannya yang masih satu jam lagi, Samudra menyempatkan diri untuk melakukan panggilan video dengan sang bunda. Selagi menghubungkan sambungan tersebut, Samudra naik ke posisi tribun paling atas, agar nyaman saja menurutnya. Nanti sekiranya ada orang datang, tidak langsung terganggu.

"Halo, Rif," sapaan pembuka itu terdengar jelas, menandakan bahwa Khansa sudah menjawab teleponnya. Pada saat itu, Samudra baru saja mendudukkan diri.

"Halo, Bun. Lagi kerja nggak?" Tanya Samudra yang mulai menampilkan wajah. Ia sudah duduk di posisi terbaiknya.

"Iya, sih. Tapi karena kamu nelepon, pending dulu sebentar," sahut Khansa dengan senyuman indah khas dirinya.

Samudra terkekeh pelan. Bundanya memang paling bisa meluangkan waktu seperti ini. Ya ... Walaupun bukan dalam bentuk kepulangan yang rutin.

"Lagi di tempat latihan, ya?" Tanya Khansa setelah mengamati beberapa bagian yang tersorot oleh kamera anaknya. Khansa memang jarang berkunjung ke Gardapati, tapi sedikitnya dia masih bisa mengingat bentukan sekolah itu. Terlebih, bagian-bagian lokasi yang menjadi keseharian putranya.

"Iya," jawab Samudra singkat.

"Terus kok nggak latihan? Malah nelepon bunda?" Wanita itu keheranan.

"Belum mulai, Bun. Masih satu jam lagi." Samudra menginfokan, kemudian membalikkan sorotan kameranya. "Lihat! Belum ada orang, kan? Baru Arif doang disini," sambungnya, lalu memposisikan kembali kamera untuk memperlihatkan wajahnya.

"Tumben rajin," ledek Khansa dengan alis yang terangkat. Tidak biasanya Samudra jadi berbudi seperti ini.

"Udah nggak tahu mau kemana lagi. Teman nongkrong juga tumben pada berkegiatan semua, jadilah Arif terdampar disini," ujarnya dengan candaan. Memang benar, Arsalan masih dengan urusan akademiknya, sedangkan Reza mengaku ada acara keluarga.

Khansa tertawa renyah, beberapa kali juga mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sempat terdiam, mungkin sekitar tiga menit, hingga Khansa menyadari sesuatu dan bertanya kepada anaknya.

"Kamu pilek, kah?" Pertanyaan ini tentu memiliki dasar yang kuat. Karena sejak tadi, Khansa beberapa kali mendengar Samudra terbatuk dan juga suka menghela nafas panjang. Mata anaknya itu juga sedikit sayu, tidak seperti biasanya.

"Iya." Satu keunggulan Samudra yang sangat disukainya adalah, anak itu hampir selalu jujur. Jarang menutupi hal-hal yang seharusnya.

"Kok bisa?" Khansa masuk ke tahap penyelidikannya.

"Semalam pulangnya telat. Terus kena gerimis juga." Benar, kan? Untuk hal seperti ini saja Samudra tidak menutupinya.

"Jam berapa?" Delik mata wanita itu mulai tajam.

Samudra tampak berpikir sambil mengerutkan keningnya. Mengingat dengan pasti, pada jam berapa ia melajukan motor dan menerobos hujan semalam.

"Kayaknya setengah satu, Bun," jawabnya dengan pasti.

Kemurkaan Khansa sudah tentu menjadi tanggapan selanjutnya. "Jam setengah satu kamu ngapain aja, Arif?! Nggak tahu rumah?"

"Tau kok. Buktinya masih bisa pulang semalam. Bun ... Semalam Arif keluarnya telat, makanya pulangnya juga telat," jelasnya untuk meminimalisir kemarahan sang bunda.

"Emang jam berapa keluarnya?"

"Jam sepuluh."

Pertikaian kembali terjadi.

"Jam sepuluh ngapain keluar lagi, Rif? Mending tidur. Seharusnya jam sepuluh itu jadi waktu pulang. Bunda bolehin kamu keluar malam, ya. Tapi usahakan lah, keluarnya abis-abis magrib kek." Khansa terus berceloteh layaknya kaum ibu di Nusantara ini.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang