𝐊𝐄𝐊𝐇𝐀𝐖𝐀𝐓𝐈𝐑𝐀𝐍

607 39 0
                                    

Jauh dari pusat keramaian, Khansa memilih sebuah bangku panjang di suatu lorong yang sepi untuk tempatnya menenangkan diri. Pernyataan pahit yang baru saja dibacakan dokter, berhasil membuat dunianya seolah hancur.

Putra sulungnya, tempatnya menaruh harapan pertama, kini sudah dipatahkan segala mimpinya oleh suatu keadaan tak menguntungkan. Alih-alih penyakit biasa yang mudah disembuhkan, Samudra malah diberi cobaan dengan hadirnya kanker paru yang sudah menyebar.

Kata dokter, meski masih menginjak stadium 2A, sel kanker itu sudah menyebar ke area kelenjar getah beningnya. Bahkan tidak dipungkiri, dalam waktu dekat bisa saja merambat ke area lainnya. Ingat sekali lagi, bahwa penyakit ini lebih agresif saat menyerang kawula muda.

"Aku harus apa, Mas? Gimana caranya menyampaikan ini ke Arif? Aku takut dia nggak bisa menerima semuanya. Baru kemarin, dia ngeluh capek karena pemeriksaan yang panjang. Lantas apalagi yang akan dia katakan, bahwa nyatanya pengobatan nanti jauh lebih rumit."

Khansa terus meneteskan air matanya. Mencurahkan segala isi hatinya kepada sosok di seberang sana. Sepasang earphone terpasang di telinganya, membuat dirinya tak perlu repot untuk mengangkat ponsel. Kedua tangannya yang bebas, sementara bisa menutupi wajahnya yang penuh linangan kesedihan itu.

"Kamu cuma perlu tenang, Sa," ungkap Alzam dengan lembutnya.

Sebagai seorang ayah, ia juga sempat terpukul. Orang tua mana yang tidak shock saat mengetahui anaknya sakit keras. Sakit yang terkenal mengancam nyawa. Namun di sisi lain, dia adalah lelaki yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan. Baginya, kesedihan bisa sirna lebih cepat. Karena dalam pikirannya, tangisan sekeras apa pun tetap tak bisa membalikkan keadaan.

"Sebelum memikirkan perasaan Arif, kendalikan dulu perasaanmu sendiri. Ini bukan tentang Arif yang bisa menerima atau tidak, tapi tentang kesanggupanmu dalam menyampaikannya. Cepat atau lambat, ini keadaan dirinya, yang wajib ia ketahui sebelum menyetujui serangkaian pengobatan." Alzam terus mencoba menenangkan istrinya. Dalam keadaan seperti ini, ia kadang mengutuk tugasnya yang begitu banyak, membuatnya tak bisa bergerak bahkan untuk sekedar menemani Khansa di masa keterpurukannya.

"Akankah dia marah sama keadaan ini, Mas? Aku nggak siap menghadapi kekecewaannya." Khansa mengeluarkan isi pikirannya. Keseharian Samudra yang sudah sering di dunia luar, membuat Khansa tak bisa lagi menebak, bagaimana kepribadian anak itu saat menerima kenyataan pahit.

"Kecewa mungkin pasti, tapi dia adalah pribadi yang tenang, Sa. Setenang namanya, Arif Samudra," ungkap Alzam teringat akan dialognya bersama Samudra di sore itu.

"Mas ..." Khansa sedikit merajuk. Kenapa tiba-tiba beralih ke masalah nama.

"Ya kan benar, Sa. Nama itu mengandung harapan besar, yang kita semogakan terwujud di suatu waktu. Mudah-mudahan, saat ini menjadi puncak perwujudannya." Karena dalam keadaan inilah, Samudra dituntut untuk bisa menerima semuanya dengan lapang dada. Dengan bijak, dan jiwa setenang samudra.

"Bentar, Arif nge-chat," seru wanita itu tiba-tiba. Membuka notifikasi yang mampir di berandanya.

𝐀𝐑𝐈𝐅🤍

Bun, kok nggak balik-balik? Infus Arif udah mau habis, nih. Nggak nambah lagi, kan? Katanya mau langsung pulang.

"Apa katanya?" Alzam bertanya karena Khansa terlalu lama terdiam.

"Dia nanya aku kenapa lama baliknya." Khansa menjawab sambil mengetikkan balasan.

Sebentar, bunda masih ada urusan. Pencet aja tombol di samping itu. Nanti ada suster yang datang. Bilang aja mau pulang, udah diizinin dokter.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now