𝐊𝐄𝐒𝐀𝐊𝐒𝐈𝐀𝐍 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐄𝐑𝐋𝐀𝐖𝐀𝐍𝐀𝐍

378 27 0
                                    

Arsalan telah menuntaskan tugasnya dengan baik. Meski tidak membawa ketiga pelaku itu dengan sendirinya, tapi laporannya kepada pihak BK berhasil membuat mereka semua dipanggil. Jelas di dalamnya juga termasuk Samudra.

Nadia sudah ditangani oleh pihak UKS, kabarnya juga akan dirujuk ke rumah sakit karena gadis itu mengeluh nyeri yang teramat di bagian perutnya. Hanya sebentar Samudra mendampingi gadis itu, selebihnya ia harus menyelesaikan urusan di BK.

Adhisti ikut hadir kesana. Karena bukan orang yang bersangkutan, ia terpaksa menunggu di depan bersama Reza. Arsalan dibolehkan masuk karena ia lah yang melapor dan dianggap sebagai saksi.

"Apa yang kalian lakukan? Tidak bisa kah menjaga sedikit ketenangan di masa ujian ini? Kamu lagi Samudra! Tidak cukup selalu membuat onar?" Samudra menghela nafasnya dengan panjang saat guru itu lebih dulu fokus kepada dirinya.

"Kenapa harus saya, sih, yang disebut? Ibu belum tahu apa-apa saja sudah men-judge saya yang membuat onar. Sementang saya sering keluar masuk BK, bukan berarti setiap kasus, saya biang keladinya." Samudra yang masih belum bisa mengontrol emosinya langsung berbicara blak-blakan.

"Jelaskan, apa yang terjadi. Bagaimana bisa sampai ada orang yang terluka parah? Nama sekolah akan tercoreng akibat tingkah laku kalian. Alfin, mulai dari kamu." Setelah masuk ke ruang ini, barulah Samudra mengetahui bahwa dirinya adalah satu-satunya anak IPS disini. Semua pelaku bahkan korban adalah anak IPA yang katanya budiman itu.

"Kami nggak tahu apa-apa, Bu. Nadia memang awalnya sudah berada di belakang toilet itu, dengan kondisi yang sedemikian rupa. Kami datang dengan niat menolong, tapi Samudra malah tiba-tiba menghampiri dan memukul kami," jelas Alfin dengan tampang polos yang dibuat-buat.

"Menolong kata lo? Menolong orang agar cepat bertemu kematian? Jelas-jelas gue lihat lo nendang badannya Nadia, anjir. Jangan manipulatif jadi orang," sahut Samudra yang tidak terima akan kronologi versi pertama.

"Samudra, jaga penuturanmu! Yang sopan sedikit jadi anak. Sekarang, giliran kamu menceritakan apa yang terjadi." Guru itu pun mencoba adil.

"Saya tadi baru keluar kelas. Mau ke kantin, tapi mendengar keributan dari belakang unit toilet. Saya menghampiri kesana dan melihat mereka sedang merundungi Nadia. Persis seperti yang saya katakan barusan, mereka menendang tubuh Nadia yang sudah terkapar," jelasnya tanpa mengarang sedikitpun. Arsalan yang notabenenya juga baru mendengar benar-benar terkejut. Tidak disangka olehnya bahwa manusia-manusia ini sangat berani menyiksa orang lain di lingkungan sekolah. Kalaupun benar ini adalah perundungan, sungguh suatu perundungan yang dahsyat.

"Fitnah, Bu. Nggak mungkin kami berbuat seperti itu. Nadia itu juga teman kami. Dia hanya berbicara asal tanpa bukti," sanggah seorang gadis dalam perkumpulan tadi. Samudra bahkan sampai jijik karena gadis itu sok merasa tersakiti dengan mengeluarkan air matanya.

"Salah satu yang bisa dijadikan bukti, adalah keterangan saksi. Disini, saksinya adalah gue," ujar Samudra lagi.

Arsalan yang mendengar itu malah ikut menyanggah, "secara hukum, minimal dua orang saksi, satu nggak bisa." Lelaki itu mencoba untuk senetral-netralnya.

"Yaudah, tambah keterangan dari korban." Samudra sedikit mendelik pada sahabatnya itu. Arsalan mengangguk. Bukan karena lirikan Samudra, tapi memang karena kebenaran yang ada.

"Dengan kesaksian kalian yang berbeda, dan tidak adanya saksi lain. Serta ketidakhadiran Nadia disini, membuat penanganan kasus perundungan ini terpaksa ditunda. Namun, kalian semua masih dalam pengawasan," ujar sang guru BK. Kesaksian yang beda membuat jawaban tidak bisa ditemukan.

"Perundungan memang sebuah kesalahan fatal. Kemudian dilanjutkan dengan aksi perkelahian kalian. Apa kalian tidak malu masuk ujian dengan tampang babak belur seperti ini?" Guru itu tak habis pikir sejak melihat kondisi mereka yang semuanya lengkap dengan bercak darah.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now