𝐍𝐀𝐌𝐀 𝐃𝐀𝐍 𝐊𝐄𝐍𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍

462 34 1
                                    

Meski air mata belum mampu untuk berhenti berlinang, tapi Khansa harus menguatkan diri agar bisa meneruskan kabar ini kepada suaminya. Ia keluar dari ruang ICU, melimpir ke depannya dan mengeluarkan ponselnya. Disekanya berkali-kali linangan air mata yang membasahi pipi, pun ikut mengatur nafas agar omongannya nanti bisa dikendalikan.

Kabar ini harus disampaikan secepatnya, karena tinggal beberapa menit lagi, Alzam akan masuk ke ruang sidang dan tidak akan bisa menggunakan telepon. Panggilan mereka, kini telah tersambung.

"Sudah mulai sidangnya, Mas?" Khansa menanyakan ini setelah sebelumnya mengucap salam layaknya biasa.

"Belum, Sa. Masih sebentar lagi. Ada apa?" Alzam langsung bertanya. Namun, Khansa hendak mengabaikannya terlebih dulu. Ia belum siap, melontarkan kalimat yang berisi kabar kematian putranya sendiri.

"Selesainya kapan?" Khansa mengulur waktu dengan pertanyaan lain.

"Mulai aja belum, Sa. Udah nanya selesai."

"Kira-kira, siang sudah selesai, kah?" Pertanyaan ini ada tujuannya.

Alzam terdiam sebentar, agaknya sedang mengira-ngira estimasi waktu yang digunakan untuk sidang putusan ini.

"Kecil kemungkinannya. Memangnya ada apa, Sa?" Ia masih menuntut maksud dari panggilan yang dilakukan istrinya. Khansa jago memainkan nada suara, hingga suaminya tak sadar bahwa ia habis menangis hebat.

"Ada yang mau aku omongin, boleh kah jika sekarang?" Ini yang sedikit Khansa khawatirkan, jika Alzam menerima kabar duka ini, akankah ia masih bisa fokus dalam persidangan.

"Silakan saja. Memangnya ada undang-undang yang membatasi waktumu untuk berbicara?" Alzam membalasnya dengan perkataan Khansa malam tadi. Dengan ini, Khansa bisa sedikit mengukir senyum. Alzam begitu luar biasa, ia belum tahu akan kesedihan Khansa, tapi secara tak langsung sudah menghiburnya.

"Mas …" Khansa memanggilnya dengan makna yang sangat dalam.

"Iya, Khansa. Ada apa?" Alzam pun sama lembutnya.

Khansa menarik nafas dalam. Dimantapkannya hati untuk mengatakan ini.

"Arif sudah meninggal, Mas."

"Apa?" Alzam terkejut. Mungkin di sana ia mengira bahwa sempat salah dengar.

"Arif, sudah selesai dengan perjuangannya. Anak kita sudah tiada, Mas. Beberapa menit lalu dia telah mengembuskan nafas terakhir." Jatuh air mata Khansa sekuat apa pun ia menahannya saat menyatakan ini.

Alzam terdiam lagi, tak menyahut apa-apa, hanya desau angin dan derap langkah orang berjalan yang bisa Khansa dengarkan dari sambungan telepon.

"Karena itu aku bertanya, Mas kapan kiranya selesai. Biar kita atur waktu pemakamannya. Jika memang tidak bisa siang, maka sore saja." Khansa melanjutkan.

"Jangan ditunda, Sa." Alzam bersuara lagi. "Aku benar-benar nggak bisa memastikan, kapan sidang ini selesai. Makamkan saja Arif sesuai dengan jadwal terbaik. Jika seluruh fardhu kifayah sudah dijalankan, maka tak usah menunda terlalu lama. Penuhi hak Arif secepatnya. Ini, kan, hari Jum'at. Selepas shalat Jum'at, jika memungkinkan, laksanakan saja pemakamannya."

"Kamu nggak mau lihat Arif dulu, Mas? Untuk yang terakhir kalinya." Khansa agak sedih.

"Seandainya keadaan mendukung, sangat mau, Sa. Tapi dalam situasi begini, jangan menunda hak atas jenazah hanya karena menunggu orang hidup. Laksanakan saja tanpa banyak mengulur waktu. Lagipun kalau mau dimakamkan sore, bukankah terlalu mepet waktunya? Hari sudah dekat gelap."

Jika Khansa meresapi alasan suaminya dengan logika, maka semua itu benar adanya. Pemakaman di sore hari biasanya dilakukan setelah Asar dan jelas ini akan berkejaran waktu dengan tibanya Magrib. Suasana jadi tidak kondusif.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant