𝐓𝐀𝐊 𝐓𝐄𝐑𝐃𝐔𝐆𝐀

552 35 6
                                    

"Maaf atas keterlambatan saya. Karena adanya kesibukan lain, baru hari ini lah saya bisa memenuhi surat panggilan yang Anda berikan."

Pintu ruang BK tertutup rapat. Di dalamnya hanya ada tiga insan yang larut dalam sebuah masalah. Tiga orang yang terdiri dari dua guru BK serta dengan seorang lelaki muda.

Maksud dari surat panggilan itu dijelaskan secara runtut dan sistematis. Segala keluhan dan laporan disampaikan. Lelaki itu menyimak dengan baiknya, menanggapi tanpa melibatkan emosi atau malah menyalahkan pihak sekolah atas penilaian mereka terhadap salah satu anggota keluarganya.

"Saya mewakili namanya dan keluarga meminta maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Sepulangnya dari sini, saya akan mencoba menasehatinya. Memberinya pengertian atas sikap yang telah diperbuatnya. Terima kasih atas perhatian Anda, terhadap adik saya," ujar lelaki itu ketika pembahasan masalah sudah menemui titik akhir.

"Terima kasih kembali atas kehadiran dan sikap kooperatif Anda. Kami turut senang karena surat panggilan ini dapat dipenuhi dengan baik," balas guru senior dalam bidang tersebut.

Lelaki itu mengangguk sembari menerbitkan senyumnya. Sesaat kemudian, ia lantas bangkit dan berpamitan. Ada urusan lain yang harus ia tunaikan sebagai bentuk tanggungjawabnya.

Kaki jenjang itu dilangkahkan untuk menyusuri koridor lantai satu. Melewati pinggiran lapangan yang disana terdapat banyak sekali siswa. Dirinya sempat melirik arloji yang terlingkar manis di tangannya, kemudian membatin, pantas saja ramai, ini sudah jam istirahat.

Di sisi lain, Samudra sedang sibuk men-dribble bola basket yang ada di tangannya. Namun, melalui sudut matanya, ia bisa melihat seseorang yang sangat familiar bagi dirinya. Seseorang berkemeja coklat gelap yang biasa dipanggilnya dengan sebutan ...

"Bang Yudha!" Teriaknya tanpa memperdulikan banyaknya orang disana. Bola yang tadi berada dalam kendalinya juga spontan dihempaskan.

Samudra berlari kecil. Menghampiri sosok lelaki yang sudah berhenti karena panggilannya tadi.

Diraihnya tangan lelaki itu ketika mereka sudah berdekatan. Melakukan salam takzim kepada seseorang yang merupakan abang bagi dirinya.

"Kok bisa disini, Bang? Ada keperluan sama Adhisti, ya?" Tanya Samudra yang langsung merujuk pada gadis itu. Karena sejatinya, sosok dengan nama lengkap Fauzan Arbianda Yudha ini adalah abang kandungnya Adhisti. Abang satu-satunya yang ia punya. Sama seperti Samudra, mereka pun hanya dua bersaudara.

"Nggak," jawab Yudha begitu acuh, bahkan dengan tampang yang datar.

Samudra mengernyitkan keningnya. "Terus?"

"Ada kepentingan atas nama lo." Kalimat yang ia ucapkan dengan begitu cepat itu berhasil membuat Samudra tercengang. Tangannya mendadak naik, dan jari telunjuknya spontan menunjuk ke diri sendiri.

"Gue?" Tanyanya memastikan. "Kepentingan apa?"

Yudha merogoh saku celana bahannya. Menarik amplop yang di dalamnya terdapat sebuah surat keramat. Benda itu, ia angkat hingga setara dengan wajah.

"Masalah ini cukup sampai di gue, atau harus ke bunda?" Kecam Yudha dengan tatapan yang semakin tajam. Sedangkan di depannya, Samudra tiba-tiba beristighfar karena baru teringat bahwa surat yang sangat ia kenali itu tempo hari sudah dicuri oleh Adhisti.

"Plis, jangan sampe ke bunda. Tapi, Bang, bukannya tenggat surat itu cuma seminggu? Sedangkan sekarang udah hampir tiga___"

"Atas nama panggilan, harus dipenuhi. Meski harus telat dengan beberapa alasan," potong Yudha pada kalimat adiknya. Kemudian, ia kembali melirik arloji untuk kedua kalinya.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now