𝐑𝐀𝐒𝐀 𝐁𝐄𝐑𝐒𝐀𝐋𝐀𝐇

438 34 1
                                    

Menanti proses evakuasi dengan cukup lama—yang kurang lebih memakan waktu hingga satu jam—akhirnya Khansa bisa melihat ambulance yang membawa putranya tiba di depan gedung rumah sakit.

Tubuh yang penuh dengan tumpahan darah itu diturunkan, dialihkan dari brankar utama menuju brankar milik rumah sakit. Khansa tak kuasa menahan tangis saat melihat betapa hancurnya kondisi Samudra setelah kecelakaan ini. Sepenuhnya Samudra sudah tidak sadarkan diri. Monitor yang diletakkan di dekat badannya menunjukkan garis-garis yang tak baik. Khansa semakin histeris saat menyadari ada beberapa benda tajam yang masih menancap di tubuh anaknya—benda yang tidak bisa asal dicabut oleh paramedis ketika di TKP tadi. Benda yang proses pemusnahannya harus dilakukan oleh dokter melalui tindakan pembedahan.

Aliza menahan tubuh kakaknya kuat-kuat. Sejak mendengar kabar kecelakaan ini saja dia sudah begitu lemas, apalagi sekarang sudah melihat langsung keadaan anaknya di depan mata.

Putrinya sendiri sudah berada di sebuah ruangan. Lukanya masih tergolong ringan hingga tak membutuhkan perawatan yang serius. Pak Harun juga sama dengannya. Hanya menderita sedikit luka. Yang paling serius kondisinya memang hanya Samudra.

Ia sudah dibawa ke sebuah ruangan. Pindai CT lebih dulu dilakukan untuk memastikan keadaan di kepalanya. Mencari jawaban apakah benda yang tertancap itu bisa menyebabkan cedera lain di otaknya.

Karena ini keadaan darurat, hasil begitu cepat didapatkan. Samudra dinyatakan mengalami pendarahan berat di otaknya. Dengan begitu, ruang operasi menjadi tujuan jelas untuk penanganan kali ini.

Beberapa dokter spesialis langsung diminta untuk merapat. Ruang operasi disiapkan. Dalam beberapa jam ke depan mereka akan berjibaku, menangani beberapa keadaan sekaligus. Tindakan kali ini bukan hanya untuk membedah bagian kepala, tapi juga menangani area tangannya. Tangan kiri Samudra tak hanya patah, tapi ditemukan beberapa kehancuran di tulangnya. Karena itu, Dokter Ortopedi juga ikut mengerahkan tenaganya—mengambil dan mengeluarkan jaringan yang hancur itu kemudian memposisikan kembali tulangnya ke tempat semula. Selanjutnya di bagian kakinya, untuk sementara hanya membutuhkan beberapa tindakan penjahitan.

Khansa menanti dengan cemas di muka ruang operasi. Tangisnya tak bisa berhenti sebab tak sanggup memikirkan bagaimana caranya Samudra bertahan di tengah keadaan yang seburuk ini. Mengapa takdir begitu kejam? Besok harusnya Samudra sudah berangkat ke Singapura untuk operasi, namun kenapa kejadian naas ini malah menimpanya? Operasi untuk pengangkatan sel kanker itu pada akhirnya hanya menjadi hayalan semata. Dengan adanya operasi hari ini, maka mustahil operasi tersebut bisa dilanjutkan.

Dering ponsel membahana di tengah kekalutannya. Diambilnya benda pipih yang tengah menampilkan nama Alzam di layarnya.

"Kenapa lama sekali menjawab telepon?" Tanpa salam, tanpa aba-aba, Khansa langsung menghujamnnya dengan sedikit marah. Sudah berkali-kali Khansa mencoba menelepon suaminya, tapi Alzam tidak sekalipun menjawab itu. Barulah sekarang ia menghubungi balik.

"Tadi masih di ruang sidang, Sa. Ada apa? Kenapa kamu nangis?" Alzam mencoba tenang.

"Arif …" Suaranya tercekat di kerongkongan. "Arif kecelakaan, Mas." Tangisnya kembali pecah. Ia tergugu dan langsung ditenangkan oleh Aliza, yang senantiasa setia di sampingnya.

"Ya Allah. Innalilahi. Dimana, Sa? Gimana keadaannya?" Alzam terkejut bukan main. Di seberang sana ia juga seketika mempertanyakan takdir, kenapa harus ada penghalang sebelum operasi Samudra dijalankan?

"Aku nggak tahu tepatnya dimana, Mas. Kondisi Samudra sangat buruk. Remuk redam semuanya. Mulai ujung kaki hingga kepala, penuh luka. Darah dimana-mana." Khansa sampai tak kuasa menggambarkan semuanya.

Alzam terdiam sebentar, dunia seolah tiba-tiba berhenti. Dirasakannya seperti langit tengah runtuh dan menimpa dirinya. "Sekarang, dimana Arif?" Ia memberanikan diri untuk bertanya.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang