𝐏𝐀𝐍𝐆𝐆𝐔𝐍𝐆 𝐓𝐄𝐑𝐀𝐊𝐇𝐈𝐑

482 29 6
                                    

Usai kematian tokoh utama, yang diceritakan tentu bukan lagi tentang dirinya. Melainkan, tentang orang-orang yang kembali meniti langkah untuk terus melanjutkan hidup setelah kepergiannya.

Ini tentang mereka, orang-orang terdekat yang pernah berdampingan hidup dengan almarhum. Tak banyak cerita yang bisa dikisahkan dari sebuah perjalanan merelakan kehilangan. Sebab, rata-rata orang akan bereaksi sama. Hanya pura-pura menerima, kemudian terbiasa pada keadaan yang ada. Ikhlas hanya tipuan semata, mungkin benar adanya di mata mereka.

Kisah ini tentang orang tua Samudra, yang berusaha keras merelakan kepergian anaknya seiring dengan waktu yang terus berlalu. Mereka harus berjuang lebih hebat, karena di setiap harinya, kenangan Samudra masih tersimpan di setiap sudut rumah mereka. Setiap melewati kamarnya, Khansa bahkan merasa bahwa auranya masih tertinggal di sana. Bahwa Samudra seolah masih ada dan tertidur lelap di dalamnya, atau bermain game, atau sekadar bersantai di balkon kamarnya.

Ini juga tentang Reza, Arsalan, bahkan semua teman kelasnya. Tentang kelas mereka yang akhirnya memiliki sebuah bangku kosong nun di pojok sana. Bangku yang tidak akan pernah diisi lagi. Bangku yang telah kehilangan pemiliknya bukan karena siswa itu pindah sekolah, melainkan pulang duluan ke hadapan Allah.

Ada rasa yang tak bisa digambarkan, saat teman-temannya memandang pada bangku itu. Harusnya mereka masih bersama, harusnya nama Samudra tak akan dicoret dari berlembar-lembar buku absen. Harusnya mereka akan lulus sebentar lagi. Namun sekali lagi, Allah lebih menyayangi sosok lelaki itu.

Kemudian, ini pula tentang masyarakat ekskul renang. Mereka yang awalnya tenteram, mendadak punya sejarah menyakitkan. Suatu penyesalan terukir karena pernah mengeluarkan seorang atlet secara tidak hormat tanpa peduli dengan apa yang dilaluinya.

Lama waktu berlalu, baru sekarang pelatih menyadari arti dari kalimat Samudra saat penolakannya atas pertandingan itu, "Orang tua saya cuma punya satu putra, yang kalau kenapa-napa tidak akan ada gantinya. Jika saya memaksa ikut, maka pertandingan ini akan seharga nyawa."

Dalam maknanya, berarti setiap katanya. Benar, jika Samudra memaksakan diri, mungkin yang mereka temui bukan medali, tapi jasad. Sayangnya, tak ada yang bisa mengartikan makna tersebut di kala itu. Penyesalan memang kerap kali ketinggalan kereta.

Sakit beragam rupa dirasakan mereka. Luka berair hingga kering beriringan prosesnya dengan sang waktu. Hingga setelah kepergiannya, belum pulih total duka itu, dunia kembali diterpa dengan masalah baru. Dengan duka yang ber-title internasional.

Desember, 2019. Tepat di waktu kematiannya, Wuhan, China, sudah mengkonfirmasi sebuah wabah. Virus mematikan bernama Covid-19 yang pada Maret, 2020, akhirnya sampai juga di Indonesia.

Untuk pertama kalinya di muka bumi, terjadilah sebuah peristiwa yang bahkan tak pernah disebut dalam sejarah Mahabharata, sekolah ditutup dan pembelajaran terlaksana secara daring.

Masa kelas tiga bagi angkatannya mendadak suram. Kenangan indah di masa terakhir tak bisa dibentuk. Mereka kira, tanpa Samudra kenangan akan sedikit menyedihkan. Namun nyatanya, kedatangan wabah ini jauh lebih memilukan.

Libur dua minggu nyatanya hanya omong kosong, karena atas kebijakan pemerintah, libur ditambah hingga berbulan-bulan. Pembelajaran dengan metode baru itu memaksa siswa untuk beradaptasi kembali. Mereka harus berjibaku dengan ponsel, laptop, komputer, dan jaringan internet sepanjang harinya demi bisa mengakses pelajaran.

Penilaian amburadul tak menentu. Dengan pembelajaran jarak jauh, guru tak bisa memantau pergerakan siswanya. Saat evaluasi—atau umumnya disebut ujian—dilakukan, bertebarlah nilai-nilai tak masuk akal.

Siswa yang kurang jago dalam akademik, mendadak jenius dengan mencetak nilai sembilan ke atas—berkat bantuan kakek google. Tak ada yang tahu, kecuali Tuhan Yang Maha Agung dan pelaku itu sendiri.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang