𝐃𝐎𝐑𝐎𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐇𝐀𝐓𝐈

385 22 0
                                    

Lebih awal dari biasanya, yakni di pukul sebelas, Samudra sudah tiba di rumahnya dan sedang memarkirkan motor di garasi. Lelaki itu tadinya baru saja menyelesaikan pertandingan futsal dalam acara ekstrakurikuler selama sepekan ini. Dirinya harus beralih profesi sementara, karena cabor andalannya yaitu renang, tidak masuk dalam susunan acara.

Jerih payah timnya berhasil mengantarkan kelas mereka ke partai final. Partai terakhir yang akan dilaksanakan esok hari, dengan lawan tanding yang berasal dari kelas 11 IPA 5.

Kepulangannya yang cepat tak hanya didasari pada kegiatan yang sudah selesai. Karena bisa saja, kan? Ia menghabiskan waktu di tongkrongan terlebih dahulu seperti biasa? Namun, entahlah. Hari ini ada semacam dorongan hati yang memaksanya untuk cepat-cepat sampai di rumah.

Baru saja Samudra turun dari motornya, ia langsung memalingkan pandangan ke belakang. Sebuah suara tangisan yang begitu dikenalinya, sungguh menarik perhatian.

"Loh, kenapa, Qila? Kok nangis?" Tanyanya, dengan cepat menghampiri sang adik ke dekat gerbang utama. Dirinya masih terus terisak sambil digendong oleh sang pengasuh.

"Kayaknya adek sakit, deh, Mas. Ini barusan juga jatuh di taman, makanya tambah nangis," jelas wanita itu sambil terus menenangkan Aqila.

Samudra menaikkan tangannya, mencoba mengecek suhu tubuh Aqila dengan cara manual.

"Panas banget emang badannya," ujarnya dengan tampang yang semakin khawatir. "Sini, sama saya aja," sambungnya untuk mengambil alih tubuh mungil itu.

Didekapnya sang adik di dalam gendongan dan langsung menuju ke kamar anak itu. Samudra sempat mendudukkannya ke kasur ketika mereka sudah tiba disana, namun Aqila tampak merengek dan tak ingin lepas dari pelukannya.

"Udah dong, Qila. Jangan nangis terus, nanti capek, lho. Tenang, ya? Bilang sama abang, dimana yang sakit? Dimana yang terasa tidak enak?" Tanyanya berusaha membujuk.

Aqila masih tersedu-sedu, namun beberapa saat kemudian mulai menggerakkan tangannya, menyentuh bagian-bagian tubuh tertentu. Samudra memperhatikan dengan baik setiap isyarat itu.

"Kepala sama perutnya sakit?" Ia memastikan lagi.

"I-iyaa," jawab Aqila sambil mengangguk.

Baru saja Samudra hendak melanjutkan pertanyaan, ingin tahu lebih jauh riwayat makanan yang dikonsumsi oleh sang adik. Tapi, Aqila tiba-tiba saja mencengkram erat pundaknya.

"Kenapa?" Samudra ikutan panik.

"Qi-qila ... Mau munt___ Hoemphh."

Aqila menutup mulutnya rapat-rapat ketika sekumpulan cairan itu bergejolak. Samudra yang paham akan apa yang terjadi, dengan cepat langsung menggendong Aqila ke kamar mandi.

Ia menunggui dengan sabar hingga Aqila selesai mengeluarkan semuanya. Dipijitnya pelan tengkuk anak itu agar semakin memudahkan. Setelah semuanya selesai, barulah Samudra membantunya untuk membersihkan mulut, pun membersihkan semua area yang terkena muntahan barusan.

Samudra kembali membopong Aqila untuk tiba ke kasurnya. Tapi ada perubahan drastis yang terjadi. Aqila semakin melemah hingga kepalanya terkulai di bahu sang abang. Ketika Samudra memanggilnya, Aqila juga tidak merespon dengan begitu kentara.

"Qil, kita ke rumah sakit aja, ya?" Meski sebenarnya ia sudah dilanda kepanikan, lelaki itu tetap berusaha untuk tenang. Dirinya langsung membawa Aqila keluar, mempertemukannya kembali dengan sang pengasuh.

"Tolong gantiin baju Aqila, ya. Agak cepat sedikit, kita ke rumah sakit," interupsinya karena tak ingin sang adik kenapa-napa apabila keterlambatan penanganan. Sakit yang menimpanya seolah tidak biasa.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now