𝐉𝐀𝐉𝐀𝐍𝐀𝐍 𝐊𝐀𝐊𝐈 𝐋𝐈𝐌𝐀

301 35 9
                                    

Kabar tentang kandasnya sebuah pertemanan itu santer terdengar hingga ke telinga Adhisti. Dari lubuk hatinya begitu tak menyangka, tiga insan yang dulunya selalu bersama kini seolah memiliki jalan masing-masing. Di beberapa hari belakangan, Adhisti masih menjumpai Reza dan Arsalan di kantin sekolah. Tapi, tidak dengan Samudra. Subjek yang kini terasingkan agaknya adalah sepupunya.

Selain itu, terdengar pula di telinga Adhisti, sebuah kabar yang datang dari internal keluarga. Informasi yang dibawa Khansa, tentang keadaan putranya yang terus memburuk dan semakin mengkhawatirkan. Khansa terus mencari tahu apa masalah yang dihadapi putranya, tapi hingga saat ini ia masih gagal. Adhisti sejujurnya mengetahui tempat duduknya perkara, namun tak sampai hati meneruskannya. Hingga akhirnya ia memutuskan, untuk membantu Khansa secara diam-diam. Membantu Samudra agar segera berdamai dengan masalahnya.

Jam istirahat sekolah, Adhisti pergi mencari Samudra. Kantin bukan tujuannya, karena Samudra tak akan ada di sana, sudah lama ia tidak terlihat. Tanpa pertimbangan panjang, Adhisti pun melanjutkan langkah ke belakang kamar mandi lama—yang sering disebut sebagai tempat biasa. Meski Samudra pernah mengatakan tak akan merokok lagi, tapi siapa tahu, ia mungkin menuju ke sana demi sebuah ketenangan.

Kebenaran memang terpatri di depan mata. Di pinggir terasnya, Samudra duduk sendiri dengan tatapan mata yang kosong. Pandangannya terlempar jauh ke arah depan. Di antara jarinya, ada sebatang rokok yang terapit hingga membuat Adhisti terkejut.

"Sam! Kok merokok lagi?" Ia berseru keras, mendatangi Samudra dan hendak merebut rokoknya. Tapi, sigap tangan Adhisti meraihnya, gesit pula tangan Samudra menghindarinya. Tangan itu naik ke udara, mengangkat si rokok tinggi-tinggi hingga Adhisti putus asa untuk mengambilnya. Dengan tatapan yang masih kosong, Samudra berkata, "Hari ini aja, Dhis. Gue lagi sumpek banget. Kepala gue rasanya mau pecah. Gue butuh pelarian."

Dengan nanar Adhisti memperhatikan sepupunya. Wajah pucatnya, mata sayunya, tatapan lelahnya, membuat Adhisti semakin tak tega. Imbas dari masalah pertemanan nyatanya seburuk itu untuk Samudra.

"Sam, jangan terlalu dipikirin. Teman nggak cuma mereka." Bukan bermaksud jahat dan semakin memperkeruh keadaan, tapi Adhisti hanya ingin Samudra selesai dengan lukanya.

"Teman emang banyak, Dhis. Tapi ini masalah maaf." Samudra menyahutinya. "Segitu salah kah gue karena menyembunyikan penyakit ini? Segitu dosa kah saat belum siap membagikan kepahitan di hidup kita?" Samudra kembali berujar putus asa.

Adhisti menggeleng kuat, disentuhnya sebelah tangan Samudra yang terdiam di lantai. "Lo nggak sepenuhnya salah. Mereka yang terlalu kekanak-kanakan dalam merespon. Seharusnya nggak langsung begitu." Langsung memutuskan kontak, menyelesaikan pertemanan dan meninggalkan begitu saja.

Adhisti tau sakitnya dibohongi, tapi ia juga mengecap buruk langkah yang diambil Arsalan dan Reza. Arsalan anak yang bijak, pribadinya setenang air. Kenapa tiba-tiba seperti tak mempunyai otak untuk bernalar? Reza pun sama, ia yang paling paham solidaritas, namun sekarang seolah buta dengan apa yang dirasakan orang lain.

"Tinggal dikit lagi, Sam. Kita ujian, terus lo bakal operasi. Sedikit lagi langkah untuk pulih. Bertahan sebentar lagi aja, Sam. Jaga kesehatan sampai waktu itu tiba, ya?" Adhisti bersikeras membujuknya.

Samudra mematikan rokoknya, menekan ujungnya ke lantai hingga bara api itu perlahan sirna. Dengan dalam dilihatnya mata Adhisti.

"Ngomongin operasi, boleh gue titip beberapa pesan, Dhis?"

Dengan bingung gadis itu merespon. "Pesan apa?"

"Operasi yang akan gue jalani adalah operasi besar. Bukan main risikonya. Seandainya nanti, gue bangunnya lama, atau bahkan nggak pernah bangun lagi. Tolong sampaikan permintaan maaf gue ke Reza dan Arsalan."

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang