𝐓𝐇𝐄 𝐋𝐈𝐎𝐍 𝐂𝐈𝐓𝐘

290 30 0
                                    

Waktu sore di hari minggu, para insan yang sempat berlibur itu sudah kembali ke rumah masing-masing. Pada Seninnya, Reza, Arsalan, serta Adhisti secara tertib masuk ke sekolah. Sedangkan Samudra, melayangkan surat izin karena harus berangkat ke Singapura.

Dirinya langsung dihujami pertanyaan dari sang teman. Jika memang hendak berangkat ke luar negeri, kenapa tidak berkabar sebelumnya? Kenapa selama liburan perihal ini tak pernah disinggung? Ujung-ujungnya, malah pergi mendadak tanpa pemberitahuan. Samudra mengajukan alibi, ada acara yang mendesak pula sehingga dia harus berangkat tiba-tiba.

Sehari setelah ketibaannya di Negeri Singa itu, Samudra langsung ke rumah sakit—tempatnya akan melakukan operasi—untuk pemeriksaan awal. Sebuah tahap persiapan sebelum tindakan dilanjutkan.

Hasil keluar dalam beberapa hari, sehingga besok Samudra beserta dengan keluarganya—kali ini bahkan disertai dengan Alzam—akan terbang kembali ke Indonesia.

Pekat malam mewarnai langit Singapura, di sebuah kamar lantai atas, tempat dua insan sedang berbaring, masuklah seorang wanita paruh baya yang merupakan Ibunya Alzam.

Khansa yang kala itu sudah lebih dulu berada di ruangan menoleh ke arahnya, tersenyum hangat pada sang mertua. Khansa tengah memantau Aqila. Karena keterbatasan kamar di rumah ini, dua anaknya berakhir tidur bersama di satu ruangan. Khansa hanya memastikan keduanya tidur di jalur masing-masing—Aqila tidak jatuh ke bawah dan tangan Samudra tidak lasak hingga mengenai adiknya. Namun pada kenyataannya, Samudra meletakkan adiknya di sisi kasur yang dekat dengan tembok, membuat gadis mungil itu tak akan jatuh kecuali ia akan bermanuver hingga ke sisi bawah. Samudra sendiri tidak bergerak banyak, ia begitu tenang dalam tidurnya.

Dengan perlahan, Linda duduk di bagian samping kasur, tepat di sisinya Samudra. Dipandanginya lekat-lekat wajah cucunya yang kini tengah berjuang melawan penyakit kronis. Seringkali ia bersedih, pada takdir pahit yang begitu sadis menyerang cucunya. Bahkan, di usianya yang masih remaja.

"Bagaimana hasilnya, Khansa?" Ia bertanya, pada menantu yang memilih duduk pada kursi dekat ranjang itu. Hasil pemeriksaan baru diambil sore tadi, karenanya belum banyak anggota keluarga yang tahu.

"Baik, Ma. Alhamdulillah. Kondisi Arif stabil, dalam waktu dekat siap untuk operasi."

Linda turut mengucap hamdalah. Dengan kesepakatan jadwal yang tidak akan diubah—yakni tetap di cuti nataru—maka kurang lebih sebulan lagi Samudra akan kembali ke Singapura untuk menjalani pengobatannya ini. Pengobatan yang diharapkan bisa memberikan lebih banyak efek positif ketimbang kemoterapi di setiap bulannya.

Tangan Linda bergerak, tak sengaja menyentuh tangan Samudra yang sedikitnya tak tertutup oleh selimut. Wanita itu spontan berkata pada Khansa. "Badan Arif dingin banget, ya, Sa? Padahal selimutan sampai leher." Sejak awal tidur pun, Samudra sudah menutupi tubuhnya hingga batas itu. Berbeda dengan Aqila yang malah mengesampingkan kain tebalnya.

Khansa menghela nafas. "Begitulah, Ma. Suhu tubuhnya tidak terlalu stabil. Kadang terlalu tinggi, kadang pula terlalu rendah." Tidak bisa dipungkiri bahwa Samudra memang tidak sesehat dulu lagi.

Linda kembali menatap wajah cucunya. Satu senyum tipis terulas di bibirnya. Dengan lembut ia mengelus surai hitam Samudra. "Setenang ini kah Arif di setiap tidurnya? Mama perhatikan sejak tadi, Arif jarang bergerak. Wajahnya juga sangat damai, bagaikan orang yang tak memiliki beban barang sedikitpun dalam hidupnya. Helaan nafasnya juga sangat lembut, hampir tak terasa."

Khansa membalas lengkungan manis itu, ia mengangguk. "Selalu begitu. Tapi kadang-kadang perilakunya membuat Khansa takut, Ma." Ia terkekeh pelan.

"Kenapa, Sa?" Linda ingin mendengar kisahnya lebih jauh.

"Helaan nafas Arif pendek-pendek, karena masalah di parunya. Seperti yang Mama katakan, Arif jarang sekali bergerak dalam tidurnya, nafasnya halus bahkan tidak kentara. Selama Arif sakit, setiap kali mengeceknya saat tertidur, yang pertama kali Khansa pastikan, apakah Arif masih hidup?" Khansa menunduk sebentar, kemudian tegak kembali, ia tersenyum samar.

"Jika dilihat sekilas, apalagi di posisi tidurnya yang menyamping, dada dan perutnya bahkan tak bergerak. Sama sekali tak menunjukkan tanda bahwa ia masih bernafas. Berulang kali, Khansa hampir jantungan karena itu."

Linda bisa memahami apa yang dirasakan Khansa. Sebagai seorang ibu, ia jelas takut kehilangan sang putra. Layaknya ibu muda yang baru melahirkan bayi, bukankah pengecekan seperti Khansa sering mereka lakukan? Ada dorongan untuk meletakkan jari di dekat hidung anak-anaknya, merasakan sedikit saja hembusan nafas mengenai jemari sang Ibu. Itu adalah salah satu cara, menciptakan ketenangan luar biasa di hati mereka. Memastikan secara sadar bahwa anaknya masih berada di alam yang sama.

"Khansa … Ketika malam, Arif memejamkan matanya untuk beristirahat. Terkadang, ia menutup mata untuk pulih sebentar dari rasa sakit. Namun, keesokan paginya atau ketika sakitnya sudah mereda, percayakan dengan segenap hatimu, Arif akan kembali membuka mata. Berulang kali matanya terpejam, berulang kali juga akan terbuka kembali."

"Arif tak akan pergi begitu saja. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan, bahwa Arif pernah berjanji, akan bertahan sekuat diri apa pun kondisinya."

Khansa mengangguk, mengenang ikrar yang digelorakan pada dini hari itu. Ya, putranya kuat. Putranya tak akan menyerah secepat itu pada penyakitnya. Samudra masih punya banyak janji, banyak impian yang mengharuskannya untuk terus di sini. Tinggal sesaat lagi, ia akan menjalani operasi, Samudra akan membaik, putranya akan pulih jika Allah mengizinkannya.

Hijrah dari pembahasan yang melukai hati. Linda mulai menyinggung hal lain. "Bagaimana tanggapan teman-temannya tentang penyakit ini, Sa?" Linda penasaran, akankah sang cucu diberkahi lingkungan yang baik? Yang bisa menerima keadaannya dengan apa adanya?

"Khansa tidak tahu, Ma. Arif nggak pernah cerita," jawabnya dengan jujur. Samudra memang anak yang terbuka, segala hal bisa ia kisahkan. Namun pasal antara pertemanan dan penyakit ini, agaknya menjadi pengecualian. "Tapi setahu Khansa, Arif merahasiakan ini dari orang luar. Tidak ada yang tahu bahwa dia sakit kecuali kita, keluarganya." Khansa bisa berkata begini setelah teringat pada Reza yang keukeuh bertanya tentang kondisi Samudra. Saat dimana Khansa harus berlindung di balik kata tifus. Dari situ pun Khansa bisa langsung menilai, bahwa teman Samudra tak tahu apa-apa. Jika tahu perihal kankernya, tau pasal kemoterapinya, pertanyaan tersebut mungkin tidak akan terlontar.

"Terlepas dari tidak diberitahukan, mereka sendiri juga tidak sadar?"

Khansa menggeleng. Maknanya bukan sekadar tidak, tapi lebih condong kepada 'entahlah'.

"Di pandangan Mama saja, dari setahun yang lalu, Arif sungguh berbeda sekarang ini." Kembali ditatapnya wajah sang cucu.

"Meski tidak terlalu kentara. Badan Arif mengurus, kan?" Linda meminta persetujuan.

Khansa mengangguk. "Iya, Ma. Berat badannya, meski tidak turun secara drastis, tapi tetap turun secara bertahap. Nafsu makannya memang tergolong baik, tapi akan beda cerita jika efek kemoterapi menyerang. Arif kesulitan makan jika terus-terusan dilanda mual."

"Jika berbicara tentang kondisi fisik, seharusnya memang banyak yang bisa disadari. Selain tubuhnya yang makin kurus, matanya juga tambah sayu, tak lagi setajam dulu. Wajahnya selalu pucat, orang normal jelas tidak seperti itu. Arif pun sudah sering absen dari kelas olahraga, sudah keluar dari ekskul renangnya. Mustahil jika tidak ada yang sadar bahwa Arif tidak baik-baik saja."

Khansa menjeda ucapannya. Menarik nafas panjang kemudian berkata, "Temannya mungkin sudah curiga, tapi Arif punya 1001 alibi untuk pembelaannya."

Karena sudah sering Khansa menyaksikan sederet kebohongan Samudra dihadapan teman-temannya. Yang terbaru adalah percakapan mereka melalui grup chat. Saat Samudra mengatakan tujuannya ke Singapura adalah karena acara keluarga, bukan karena pemeriksaan. Dari situ Khansa semakin yakin, Samudra memang hendak menyimpan rapat tentang kondisinya. Entah sampai kapan, hanya dia dan Tuhan yang mengetahui.

•••

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now