𝐒𝐈𝐒𝐈 𝐆𝐄𝐋𝐀𝐏 𝐒𝐄𝐍𝐈𝐎𝐑𝐈𝐓𝐀𝐒

387 31 0
                                    

Ujian kenaikan kelas telah tiba di depan mata. Sebuah bentuk evaluasi akhir di semester genap itu telah dilaksanakan di lingkungan Gardapati. Sekarang ini, bahkan sudah memasuki hari ketiga.

Samudra baru saja menyelesaikan ujian pertamanya di hari ini. Jangan tanya perihal jawabannya, karena prinsip Samudra hanyalah menuntaskan semua soal dan keluar dengan cepat.

Di luar sini masih tampak sepi. Segenap siswa yang kewarasannya masih tinggi pasti lebih memilih untuk menghayati soal. Memikirkannya matang-matang hingga tercipta sebuah jawaban yang sempurna. Reza dan Arsalan, bahkan termasuk dalam kumpulan orang-orang itu.

Samudra mengayunkan langkahnya dengan santai. Menyusuri koridor yang sepi itu untuk tiba di kantin. Kebetulan, selama ujian, ruangannya ada di lantai dasar.

Tangannya mulai menyentuh seragam. Membuat penampilannya kembali seperti biasa. Ditariknya keluar kemeja yang sejak tadi terhimpit rapi di balik tali pinggang. Dibukanya pula seluruh kancing pada seragam itu, hingga memperlihatkan sehelai kaos putih yang menjadi dalamannya.

Di depan sebuah unit kamar mandi, Samudra baru saja hendak berbelok. Namun, ada sebuah suara yang menyita perhatiannya. Suara itu layaknya rintihan, tangisan seseorang yang begitu kesakitan. Samudra mencoba meyakinkan diri, bahwa tak ada setan di pagi hari begini meski tempat yang dilaluinya begitu sepi.

Samudra terus menajamkan pendengarannya, hingga suara-suara lain pun muncul beriringan. Memantapkan hatinya bahwa ini berasal dari manusia.

"Hahaha, lemah banget lo. Cupu! Nggak guna!" Samudra mengernyitkan keningnya. Itu suara tawa lelaki, yang dibarengi dengan beberapa bunyi pukulan. Khawatir ada yang tidak beres, ia pun langsung mencari sumber suara.

Dia berjalan ke arah belakang kamar mandi, terus mendekat hingga suara itu tak lagi samar. Betapa terkejutnya Samudra, karena di hadapannya sekarang, ada sekumpulan orang yang tengah menendang tubuh seorang wanita. Sosok gadis yang berseragam sama dengannya, namun sudah tidak berdaya.

"WOI! GILA, YA, LO PADA?" Dengan cepat, Samudra berlari kesana. Masuk di tengah-tengah mereka kemudian melindungi si gadis malang itu. Dirinya langsung bertatapan tajam dengan tiga pelaku yang ada disana. Mereka terdiri dari dua lelaki dan satu perempuan.

"Pahlawan datang, bro," ledek seorang lelaki sambil tertawa geli. Sekilas Samudra melihat nametag di bajunya. Lelaki itu, bernama Alfin.

"Apa jangan-jangan ini pacarnya si cupu, ya?" Sahut lelaki lainnya dengan nama Reno.

Kalimat sarat ejekan itu terus dijawab dengan tawa keras oleh satu rekan lainnya. Samudra mencoba untuk mengabaikan mereka. Ia langsung berjongkok untuk menolong gadis yang sudah terkapar tadi. Baru saja Samudra menanyakan keadaannya, Alfin langsung menarik keras kerah bajunya. Mau tak mau, posisi Samudra kembali berdiri.

"Nggak usah ikut campur. Kita nggak tahu lo siapa. Mending lo pergi, sebelum gue habisi kayak dia juga," ujar Alfin dengan angkuhnya. Agaknya, dalam kumpulan ini, ia lah yang berkuasa. Matanya tajam menghunus kepada Samudra. Tapi lelaki yang sejatinya juga berandal ini, tak akan takut begitu saja.

"Lo salah lawan kalau mau ngehabisin gue," jawab Samudra dengan nada datar. Masih ia biarkan tangan Alfin mencengkram kerah bajunya. Samudra masih punya stok kesabaran untuk meladeni manusia setengah iblis ini.

"Blagu banget ya, lo? Siapa nama lo, hah?" Alfin kembali bergerak. Kali ini mencari keberadaan nametag di seragam Samudra.

"Arif Samudra," bacanya dengan mata yang sedikit menyipit. "Masih kelas sepuluh. Jangan banyak gaya!" Kecamnya setelah mengamati simbol padi di bagian dada seragam itu.

Samudra yang tersadar akan keberadaan simbol penanda tingkatan itu juga langsung melakukan hal yang sama. Ia turut mengamati seragam Alfin. Lelaki itu, ternyata adalah abang letingnya. Siswa kelas sebelas.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang