𝐀𝐌𝐀𝐑𝐀𝐇 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐔𝐒𝐀𝐈

416 34 5
                                    

Alzam tergesa, dibereskannya semua barang bawaannya. Sesegera mungkin ia harus kembali dan melihat keadaan putranya. Januar memperhatikan kesibukannya. Detektif muda dari kepolisian itu dengan sopan menghampirinya.

"Buru-buru sekali, Pak? Mau kemana? Tidak kah shalat Jum'at di sini dulu?" Tanya lelaki dengan rambut yang diikat tipis. Shalat Jum'at bersama adalah kesepakatan mereka sebelumnya, kemudian baru dilanjutkan dengan makan siang.

"Oh, maaf sekali. Saya tidak bisa hari ini. Ada kepentingan yang lebih mendesak." Alzam membatalkan janji.

"Apa itu, Pak?" Jika tidak diberitahu pun, Januar tidak keberatan. Setidaknya ia sudah bertanya sebagai bentuk menunjukkan simpati.

Alzam tersenyum getir, matanya berubah sedih. "Anak saya kecelakaan. Kondisinya sangat buruk. Saya harus menemuinya, segera."

Januar terkejut bukan kepalang. "Anak yang mana, Pak?" Karena setahunya Alzam memiliki dua anak. Seorang putra yang sudah remaja dan seorang putri yang masih kecil.

"Anak pertama. Yang laki-laki."

"Bapak bisa pulang sendiri? Atau perlu saya antarkan?" Karena menurutnya, tak baik berkendara dalam keadaan pikiran yang kacau dan perasaan yang gundah.

Alzam menolak halus. "Saya bisa sendiri, terima kasih atas tawarannya. Saya duluan, ya." Alzam lekas keluar dari gedung pengadilan. Menghampiri mobilnya di parkiran basemen, kemudian melaju ke daerahnya.

Sama-sama dalam konteks perjalanan. Di tempat yang berbeda ada pula Reza yang baru menghentikan motornya. Usai mengiringi ambulance hingga ke rumah sakit, memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa Samudra sudah ditangani oleh dokter, maka bertolak lah Reza ke tempat lain. Ke sebuah rumah megah yang merupakan kediaman Arsalan.

Dipencetnya bel yang terpasang di samping pintu. Seorang wanita berusia dua puluhan membukakan pintu, itu Kakaknya Arsalan, yang tempo hari pergi mengecek kandungannya ke rumah sakit. Wanita yang sedang hamil tua itu terkejut bukan buatan. Di depannya telah berdiri seorang lelaki muda, berseragam putih yang tak lagi bersih. Bercak darah, mewarnai mulai dari kemeja hingga ke celananya.

"Za? Kenapa kamu? Kecelakaan? Dibegal orang?" Kakak Arsalan menghujaminya dengan banyak pertanyaan. Khawatir sekali dengan kondisi teman adiknya.

"Nggak pa-pa, Kak." Reza menyembunyikan tragedi barusan. Noda darah ini ia dapatkan saat membantu kru damkar dalam mengangkat tubuh Samudra menuju brankar milik paramedis. Kegiatannya memang sebentar, namun pada kenyataannya darah di tubuh Samudra sangat banyak, hingga mudah sekali tercecer kemana-mana.

"Boleh Reza ketemu sama Arsal, Kak?" Tanyanya dengan sopan. Masih dengan keterkejutannya sang Kakak mempersilakan. "Langsung aja ke kamarnya. Agaknya Arsal lagi siap-siap mau Jum'atan."

Reza mengangguk mafhum. Mengantongi izin dari tuan rumah, ia langsung menyusuri rumah luas itu. Rumah Arsalan tak bertingkat macam rumah Samudra. Hanya saja, rumah ini panjang dan lebar sekali. Sebanding juga megahnya dengan rumah Samudra, jika dipikir-pikir. Kamar Arsalan ada di wilayah belakang, Reza tahu karena sudah beberapa kali berkunjung kemari.

Tiba di depan pintunya, Reza mengetuk beberapa kali.

"Nggak dikunci." Lelaki di dalam sana mungkin mengira yang datang adalah anggota keluarganya.

Reza membuka pintu, masuk ke dalam dan menemukan Arsalan yang sedang mengenakan baju kokonya. Benar kata kakaknya, Arsalan sedang bersiap-siap sebelum melaksanakan shalat.

"Reza?" Arsalan mengangkat dua alisnya. "Ada apa kemari? Tiba-tiba banget. Terus itu … baju lo kenapa penuh darah?" Arsalan berjalan mendekatinya, bersamaan pula dengan Reza yang mulai menyebutkan nama Samudra. Langkah Arsalan langsung berhenti, ia spontan membalikkan badan.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now