𝐑𝐀𝐙𝐈𝐀

343 33 0
                                    

Seperti kegiatan biasa di malam hari, Reza bersama dengan Arsalan sudah duduk manis di tongkrongan mereka. Reza bersama dengan rokoknya dan Arsalan dengan segelas teh manis kesukaannya. Tidak ada nama yang luput dituliskan, karena memang Samudra tidak pernah hadir lagi di antara mereka—saat malam, di tongkrongan ini.

"Udah genap seminggu, bro. Dia nggak ke sini." Reza membuka kisah, sambil menatap ke atas ia mengingat kapan kali terakhir Samudra ada di sini.

"Ya udah, sih." Arsalan acuh tak acuh.

Arsalan memang begitu kaku, tapi tidak dengan Reza. Ia adalah tipe teman yang suka memperhatikan segala hal, sekecil apa pun itu. Reza mencurigai sesuatu, tapi tak tahu dengan Arsalan. Akankah dia punya pandangan yang sama apabila Reza tuturkan tentang ini?

"Lo ngerasa kalau Samudra aneh nggak?" Arsalan yang tengah melihat ponselnya spontan menaikkan pandangan. Dengan sudut mata atas ia menatap Reza. Menuntut agar pembicaraannya bisa lebih jelas.

"Aneh gimana?"

"Ya lihat aja belakangan ini. Dia susah diajak kemana-mana. Udah nggak pernah merokok, nggak pernah ikut nongkrong."

Arsalan menanggapi. "Mungkin bundanya ngelarang. Dia, kan, hitungannya masih sakit. Jadi harus dikasih batasan."

Reza membelalakkan mata. Apakah ia sendiri yang tertinggal informasi. "Sakit apa?" Rasa penasarannya sampai mendorong Reza untuk menggebrak pelan meja di depannya.

"Kemarin lo bilang gejala tifus." Arsalan menyahut dengan agak kesal. Informasi ini datang dari Reza sendiri setelah bertanya kepada Khansa. Kenapa sekarang dia yang pura-pura amnesia?

Reza menghela nafas panjang, tubuhnya mendadak lemas. Ia kira Arsalan mengetahui sesuatu yang lain. "Kok gue ngerasa itu bukan sekadar tifus, ya?" Reza melanjutkan.

"Terus?"

"Coba lo pikir, deh, Sal. Masak iya sampai segitunya? Samudra sering banget sakit bahkan sampai pingsan. Dulu nggak ada tuh begitu. Sehat-sehat aja. Sekarang dikit-dikit tumbang, kelas olahraga aja dia jarang ikut. Apa jangan-jangan dia mengidap penyakit kronis, ya?" Reza mencoba serius.

Arsalan mendesis, menggeleng kuat menampik opini Reza. "Pikiran lo jangan kejauhan, deh. Nggak usah mendo'akan yang enggak-enggak."

"Ya bukan mendo'akan. Gue nanya!"

Arsalan menyesap tehnya, rasa manis pada minuman itu semoga bisa menstabilkan emosinya.

"Tifus nggak bisa lo pandang remeh." Arsalan memulakan. "Nggak sesepele itu sampai lo bisa berkata; masa iya sampai segitunya? Sebenarnya emang segitu."

"Tifus kalau penanganannya nggak benar dan si pasien nggak benar-benar menjaga tubuhnya, bisa fatal. Kalau sampai komplikasi, bisa menyerang organ-organ lain. Lagipun, tifus sembuhnya lama."

"Waktu SMP, gue punya teman." Arsalan mengenang. "Baru sembuh dari tifus setelah sebulan lamanya. Karena siklusnya, baru mendingan dikit, besokannya drop lagi. Kalau Samudra, belum genap seminggu dia udah pulang dari RS, kan? Barangkali dia belum sembuh, Za. Cuma karena UTS, makanya dipaksa," lanjutnya memberikan perbandingan.

"Bisa dikatakan dia masih dalam tahap pemulihan. Lagipun, Bundanya juga bilang bahwa dia pernah drop berat karena penyakit ini, kan?" Reza mengangguk. Kesaksian ini memang ia dengarkan sendiri.

"Maka sangat wajar kenapa Samudra belum ikut ke sini, dia masih butuh istirahat. Memang katanya masih gejala, tapi karena sebelumnya sudah punya riwayat, pasti keluarganya langsung antisipasi. Takut hal yang sama terulang lagi."

"Santai saja, Samudra cuma kena tifus. Batasan-batasan kayak gini udah ada sejak lama kok. Kecuali lo yang nggak sadar." Reza mengeryitkan kening. "Gimana?"

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang