𝐇𝐄𝐑𝐙𝐈𝐄𝐍𝐈𝐍𝐆 𝐕𝐀𝐍 𝐀𝐑𝐑𝐄𝐒𝐓𝐄𝐍 𝐄𝐍 𝐕𝐎𝐍𝐍𝐈𝐒𝐒𝐄𝐍

425 29 0
                                    

Usai investigasi yang ke sekian kalinya, Alzam kembali ke rumah dan kini tengah bersama istrinya. Hitung-hitung karena tengah bersantai, Khansa buka suara.

"Kamu serius mau ngelanjutin kasus ini?" Ada ketakutan di dalam dirinya ketika memastikan ini.

"Serius. Apa yang sudah diiyakan, bagaimana pun rintangannya, harus diselesaikan."

"Tapi ini bahaya, Mas." Khansa menentang, bukan hanya sekarang, tapi sejak awal Alzam memberitahukannya. "Kenapa harus kamu yang ditunjuk sebagai pengacaranya? Investigasi ulang itu tidak mudah."

Alzam mengangguk. "Investigasi ulang mempertaruhkan jabatan, harga diri, bahkan nyawa dalam prosesnya. Sedikit ahli hukum yang mau berkecimpung di dalamnya. Aku mau termasuk dalam kata sedikit itu, Sa." Alzam tersenyum.

"Sebanyak apa, sih, yang diberikan jika kamu berhasil menuntaskan kasus ini?" Ini tentang nominal.

"Nggak banyak. Bahkan hanya sesuai standar. Tapi ini bukan tentang uang, Sa. Uang mudah dicari, keadilan sukar ditegakkan."

"Investigasi ulang mengartikan bahwa ada hal yang yang silap dalam penyelidikan sebelumnya. Ada yang tidak terlihat, tidak disadari sehingga orang yang sebenarnya bukan pelaku, ditangkap dan dihukum. Dengan segala cara, sudah menjadi kewajiban seorang pengacara untuk memperjuangkan haknya. Bukalah tabir bahwa yang benar berhak bebas, dan yang salah patut dihukum."

Khansa mengiyakan semua penjelasan suaminya. Tapi, ada hal lain yang terlintas di kepalanya. "Menurutmu, kenapa bisa salah tangkap?"

Alzam menaikkan kedua alisnya. "Kayak yang aku bilang tadi, silap. Semua penegak hukum adalah manusia, sepandai-pandainya pasti pernah salah juga."

Khansa berdecak. "Lain?"

"Lain?" Alzam mengulanginya dengan kebingungan.

"Pikirkan deh, Mas. Salah tangkap." Khansa mengucapkan kata itu penuh penekanan. "Kenapa bisa bukti-bukti itu mengarah ke seseorang, bukti-bukti yang seolah menyatakan bahwa dia memang pelakunya. Tapi pada akhirnya, malah tercetus asumsi bahwa kita telah salah menghukum orang."

"Pikirkan, apakah ada yang mengatur semuanya? Apakah pelaku sebenarnya menjadikan seseorang itu sebagai kambing hitam? Dan ia dilindungi oleh elit yang lebih tinggi."

Alzam menepuk puncak kepala istrinya dua kali, tersenyum dengan manis. "Kamu jadi pengacara aja, mau? Semua yang kamu katakan juga menjadi pertimbangan kami dalam investigasi. Bahkan, menjadi salah satu dasar sehingga kasus ini diungkap kembali. Memang kemungkinan besar, orang itu dijebak."

Khansa menepis tangannya dengan cepat, ini bukan saatnya untuk menggoda. "Siapa yang menjebaknya? Kalau bisa menumbalkan orang seperti ini, bukankah dapat kita asumsikan, pelaku sebenarnya adalah orang penting?" Penting dalam tanda kutip pastinya.

"Orang penting atau kerabat orang penting," lanjut Alzam yang langsung diangguki istrinya. "Intinya dia cukup berpengaruh."

"NAH!" Khansa berseru. "Mas nggak takut? Jangan coba-coba, deh, menentang para elit. Nanti mati." Banyak kasus yang mencatatkan, bahwa ada orang yang hilang tiba-tiba ketika hendak menguak sebuah kebenaran—apalagi yang bersangkutan dengan para penguasa.

"Mati secara terhormat, toh?" Namanya juga dalam pengabdian. Dalam tugasnya untuk menegakkan suatu keadilan. Penegak hukum di bumi Nusantara ini banyak, keberaniannya dalam memperjuangkan kebenaran yang sedikit.

Khansa berdecih. "Kamu pikir aku peduli sama predikat terhormat itu? Mau dikasih penghargaan semahal apa pun, bintang lima, sepuluh, seratus pun. Kalau bukan kamu yang ada di dunia, nggak ada gunanya. Tuh penghargaan mau diapain juga. Nggak bisa bantu aku jaga anak-anak, kan?"

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now