𝐀𝐍𝐓𝐀𝐑𝐀 𝐑𝐀𝐒𝐀 𝐃𝐀𝐍 𝐇𝐔𝐁𝐔𝐍𝐆𝐀𝐍

347 30 3
                                    

Semenjak hubungannya dan Zevan kandas, intensitas pertemuan antara Adhisti dan Samudra semakin meningkat. Momen kebersamaan mereka jadi bertambah pesat, karena tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Pun tidak ada rasa cemburu dari pihak lain yang harus dirisaukan.

Layaknya petang ini, sesaat sebelum mega merah mewarnai langit, Adhisti datang berkunjung ke rumah sepupunya. Dengan sebuah bingkisan di tangan, ia menghampiri Samudra—yang kata bundanya ada di taman belakang.

"Hello, say," sapanya riang seperti biasa. Samudra hanya menoleh sekilas, menjawab panggilannya singkat, kemudian fokus lagi pada kakinya. Anak itu sedang mengobati luka.

Adhisti menghela nafas, diletakkannya bingkisan tadi di atas meja. Dia pun seketika berjongkok di samping Samudra, mengambil alih kapas yang sudah dibasahi alkohol itu. Greget sekali rasanya, melihat Samudra yang begitu brutal saat menarik penutup lukanya.

"Kalau mau buka plesternya, pelan-pelan. Jangan baru dibasahi dikit langsung ditarik. Patutlah sakit," omelnya pada kecerobohan Samudra.

"Nggak usah, Dhis. Sini biar gue aja." Tangan Samudra bergerak untuk mengambil kembali kapas tadi, merasa tak enak dengan Adhisti yang duduk lebih rendah dari posisinya. Namun, Adhisti mengelak, sorot matanya berubah tajam, memaksa Samudra untuk diam saja tanpa banyak protes.

"Ditarik sedikit demi sedikit, sekalian dirasain masih nyeri atau enggak." Adhisti menuntaskan pekerjaan pertamanya sambil terus mendumel. Gadis itu meraih kotak P3K yang juga terletak di atas meja. Mengambil obat merah dan dioleskan ke luka Samudra, baru kemudian ditutup kembali dengan plester baru.

"Udah, deh," seru gadis manis itu sambil memperhatikan luka betis yang sudah tertutup rapi. Adhisti bangkit kembali, membereskan peralatan dan duduk di samping Samudra.

"Makasih, ya," ungkap Samudra tulus sambil memperhatikannya. Adhisti mengangguk.

"Tadi pas ke sini, lihat orang jualan cake, kayaknya enak, makanya gue beli. Cobain, deh." Gadis itu bertingkah layaknya tuan rumah—yakni melayani bukan dilayani—dengan telaten ia membuka kemasan makanan itu dan menyodorkannya ke depan Samudra.

"Lo duluan, deh." Samudra menawarkan.

"Kenapa harus?"

"Karena lo yang beli."

Adhisti tertawa. Adat dari mana seperti itu? Namun, ia pun menuruti. Diambilnya sepotong kue itu dan segera dimasukkan ke dalam mulut.

"Enak kok," tuturnya setelah menelan satu suapan. Samudra pun akhirnya menyusulinya.

Hening sempat mewarnai pertemuan itu. Mereka sama-sama larut dengan cake tersebut sambil menikmati sejuknya angin sore. Hingga beberapa saat setelahnya, tibalah Mbak Iren yang membawakan dua gelas minuman untuk mereka.

"Kenapa bisa jatuh, sih, Sam?" Adhisti mulai menyinggung pasal lukanya setelah Mbak Iren berlalu.

Samudra terdiam sebentar, menyusun rapi kronologi jatuhnya kemarin. "Gara-gara latihan fisik, nih," kenangnya pada agenda latihan tiba-tiba itu.

Mereka yang biasanya bermain dengan air sedikit terkejut saat coach memerintahkan untuk segera ke lapangan bola. Katanya, atlet renang pun harus sering berlari demi mempertahankan pernafasan yang baik. Yang jadi masalah adalah, larinya itu tidak manusiawi. Terlalu jauh jaraknya. Begitu melelahkan, terlebih bagi Samudra yang kondisinya di bawah normal.

"Entah udah putaran ke berapa, gue kesandung batu. Tersungkur langsung di situ. Anjir, malu banget." Samudra geleng-geleng kepala saat mengingatnya. Ia juga memperhatikan telapak tangannya yang lecet karena menahan diri saat terjatuh itu.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang