𝐌𝐄𝐍𝐆𝐔𝐋𝐀𝐍𝐆 𝐋𝐔𝐊𝐀

343 36 2
                                    

"Arif, besok jangan sekolah. Ke rumah sakit dulu, ya? Nggak lucu kalau kamu drop beberapa saat sebelum operasi. Kenapa, sih, kamu, Rif? Kok tiba-tiba begini." Khansa berseru khawatir sambil terus mengelus dahi anaknya yang tengah berbaring. Samudra memejamkan matanya, namun ia tidak tidur. Sakit yang menggelayuti kepalanya membuatnya tidak bisa terlelap.

Sekembalinya dari Singapura, Samudra langsung melemah. Diawali dengan batuk yang makin menjadi hingga kembali mengeluarkan darah. Dia juga mengeluh, ada sakit yang luar biasa di daerah dahinya. Area yang biasa juga disebut dengan Yintang—titik yang terletak di batang hidung, pada pertengahan jarak antar ujung alis. Nyerinya bagaikan ditusuk jarum, dirasakan Samudra sejak sore tadi hingga kini malam telah tiba.

Obat pereda nyeri sudah diminumnya, tapi sampai sekarang belum ada reaksi apa pun yang bisa meringankan sakitnya. Seumur hidup, Samudra belum pernah merasakan sakit kepala yang seperti ini. Ia juga tak bisa memikirkan, agaknya apa penyebab dibalik sakit kepalanya sekarang? Semuanya seolah begitu buram tanpa sebuah kejelasan.

Samudra tidak kelelahan selama perjalanan lintas negaranya. Ia juga tidak terbebani oleh banyak pikiran. Secara fisik dan emosional, dirinya mengaku stabil. Tapi lihatlah, kondisinya sekarang tidak bisa diprediksi.

Dengan segenap usaha dan kembali mengonsumsi obat untuk kedua kalinya, pun ditambah dengan olesan minyak angin di dahinya, secara perlahan Samudra akhirnya bisa beristirahat. Khansa bisa sedikit bernafas lega, ia pun bisa meninggalkan kamar sang putra, namun tetap akan mengeceknya secara berkala.

Puji syukur, malam berlalu tanpa kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Namun, dengan berat hati Khansa harus segera meninggalkan Samudra. Pada kenyataannya, sejak Samudra sakit, intensitas pengabdiannya terhadap perusahaan sudah berkurang. Khansa tak pernah lagi bekerja lembur di kantor, bahkan untuk bekerja full di sana saja sudah jarang. Karena perusahaan ini juga milik keluarganya, pun dengan mengajukan surat izin kepada pimpinan, beberapa waktu belakangan Khansa bisa melakukan beberapa pekerjaan dari rumah. Tapi untuk kali ini, memang ada keperluan mendesak. Ada rapat bersama dengan perusahaan lain—yang akan bekerjasama dengan mereka—sehingga wajib dihadiri oleh para petinggi termasuk Khansa.

Dengan terpaksa Khansa harus membiarkan Samudra untuk pergi ke rumah sakit sendirian. Alzam juga tak mungkin menemaninya, karena di hari ini juga, sidang untuk kasus terakhirnya—sidang yang ke sekian kalinya—sedang berlangsung.

Samudra mengaku tidak apa-apa. Tidak masalah jika ia check-up sendiri. Toh, apa yang ditakuti? Samudra bukan lagi anak kecil, yang melakukan pemeriksaan pun butuh pendampingan wali.

Siang hari, bersama dengan Pak Harun, Samudra meninggalkan rumah, menuju ke rumah sakit. Tapi karena berbarengan dengan jam pulang sekolahnya Aqila, mereka sekalian menjemput anak itu dan membawanya ikut serta.

Samudra masuk ke ruang pemeriksaan. Aqila sementara ditinggalkan dengan Pak Harun di ruang tunggu poli paru. Gadis mungil itu kadang-kadang berlarian kesana kemari. Berjalan dari ujung ke ujung untuk membunuh bosan. Ia tak bisa hanya duduk diam.

Keaktifan Aqila akhirnya membawa anak itu ke sebuah tragedi. Luput sedikit dari pandangan Pak Harun, anak itu sudah menabrak seorang lelaki muda.

"Maaf, ya." Aqila berkata kecil kemudian tersenyum manis. Ia tak menangis ketika bertemu orang asing, pun tidak menangis karena telah berbuat kesalahan. Seperti apa yang sudah diajarkan, Aqila akan berbudi baik dengan mengajukan maaf.

Pemuda di depannya diam sesaat, tidak langsung membalas omongan bocah yang hanya sebatas perutnya. Ia mengernyitkan kening.

"Aqila?" Yang dipanggil mendonggak lebih ke atas. Orang yang ditabraknya ternyata mengenal dirinya?

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang