𝐊𝐄𝐍𝐘𝐀𝐓𝐀𝐀𝐍 𝐏𝐀𝐇𝐈𝐓

483 34 0
                                    

Tidak sama sekali melanggar janjinya, Senin itu Samudra benar-benar melayangkan surat izin ke sekolahnya. Sekitar pukul sembilan, ia sudah tiba di rumah sakit dengan ditemani oleh Khansa. Wanita itu juga memilih absen dari kantornya.

Aktivitas diawali dengan pengecekan organ-organ di tubuhnya. Mulai dari memeriksa fungsi ginjal, hati dan juga jantungnya. Semua organ itu harus dipastikan dalam keadaan baik sebelum kemoterapi dijalankan.

Kemudian, sesuai dengan saran Alzam kemarin, Samudra juga melakukan rontgen dada. Syukurlah tidak ada yang serius, memang sebatas cedera otot saja. Dokter mengatakan, dengan bantuan obat, dalam waktu seminggu mungkin sudah pulih.

Sedangkan untuk pemeriksaan organ tadi, masih butuh waktu—paling cepatnya satu hari—untuk mengeluarkan hasil. Karenanya, kemoterapi masih ditunda untuk beberapa waktu ke depan. Namun dengan begitu, bukan artinya Samudra bisa langsung bebas dari rumah sakit. Dokter Adam—yang menangani penyakitnya—menyarankan agar ia di-opname dulu. Mengingat adanya cedera dada dan kondisi tubuh yang tidak stabil. Karena sangat diharapkan, ketika kemoterapi perdana itu dilangsungkan, Samudra ada di keadaan terbaiknya.

Sekali lagi, Samudra mematuhinya. Ketika waktu siang tiba, anak itu sudah berada di ruang inap. Tentunya, dengan infus yang sudah terpasang di tangannya. Dokter Adam juga sempat memeriksa dirinya, ingin memantau bagaimana perkembangan kanker tersebut di badannya.

Vonis yang jatuh pertama kali memang menyakitkan, tapi berita perkembangan hingga naiknya tingkatan stadium nyatanya lebih menyayat hati. Itulah yang Khansa rasakan, lidahnya kelu sampai tak sanggup berkata-kata, ketika Adam kembali memanggilnya ke dalam ruangan.

"Saya tadi minta dikirimkan hasil rontgen dadanya juga. Arif selama ini masih merokok, ya?" Adam memindahkan pandangannya dari layar komputer dan melihat Khansa. "Paru-parunya kotor," lanjut dokter itu.

Khansa mengangguk tanpa tahu ingin berekspresi apa. Ia lagi-lagi gagal dalam mengontrol keseharian anaknya.

Lelaki itu menghela nafas. "Kebiasaan yang susah ditinggalkan, ya? Kalau saya katakan kondisinya makin buruk gimana, Bu?" Ini adalah awal hatinya semakin tersayat.

Khansa tercengang. "Maksudnya, Dok?"

"Saya juga nggak nyangka bakal menyebar secepat ini. Memang agresif, tapi harusnya bisa sedikit terkendali dengan bantuan obat-obatan. Dalam waktu beberapa bulan saja, penyebarannya semakin luas, Bu." Dengan pahit harus Adam sampaikan, tingkatan masa penyakitnya sudah semakin tinggi. Naik ke satu tingkatan di atasnya.

"Tapi setelah mendengar pengakuan bahwa dia memang masih merokok, susah juga, ya, Bu? Ibarat kata, kita yang mati harapan. Obat yang tujuannya cuma menghambat penyebaran, sekarang malah mempunyai tugas lain, yakni memerangi zat berbahaya dari rokok. Kewalahan obatnya, Bu." Adam tertawa miris. Khansa sendiri menunduk spontan, ada sedih dan kecewa yang seketika menyergapnya.

"Setelah ini mohon dijaga lebih ketat lagi, ya, Bu. Paksa aja untuk berhenti merokok. Akan saya pesankan juga ke anaknya nanti. Nggak bisa terus-terusan dibiarin. Kita berusaha nyembuhin, tapi dia melakukan hal yang berbanding terbalik. Nggak akan ketemu titik pemersatunya."

Khansa mengiyakannya. Setelah ini akan berusaha lebih keras lagi dalam memantau Samudra. Opsi diskusi pertama selesai, langsung dilanjutkan dengan bahasan tentang rencana operasi. Adam membolehkannya, ia siap mengeluarkan surat rujukan apabila operasi hendak dilakukan di rumah sakit lain. Kabari saja kalau sudah cocok jadwalnya, cocok dokternya. Tapi tetap diingat, harus diiringi dengan kemoterapi juga, ya? Begitu pesan Dokter Adam terkait dengan masalah ini.

Cukuplah sudah pembahasan mereka di hari itu. Khansa meninggalkan ruangan dengan sebuah surat di tangannya. Diiringi dengan helaan nafas panjang, ia menguatkan hati untuk bertemu dengan sang putra.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang