𝐏𝐄𝐒𝐀𝐍 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐓𝐄𝐑𝐀𝐁𝐀𝐈𝐊𝐀𝐍

401 24 0
                                    

Putaran waktu terus berlalu sebagaimana mestinya, menuntun Samudra untuk menjalani kehidupan sehari-harinya seperti biasa. Ya ... Meskipun ada sedikit lika-liku baru; check up berkala, diskusi pengobatan, drop sebentar, kemudian balik lagi seperti semula.

Dari sudut pandang bundanya, hidup anak itu tak sebatas berjalan tenteram-tenteram saja, ada banyak problematik di dalamnya. Agaknya si putra sulung menganut paham, aturan ada untuk dilanggar. Begitulah setiap hari dirinya membuat Khansa naik pitam. Segenap hal yang sampai berbusa mulut dokter menyampaikan, dengan mudah dilanggar oleh makhluk berwujud manusia itu.

Dokter bilang untuk berhenti merokok—dia mengaku tidak bisa melakukannya. Dokter bilang agar tak berkegiatan berat—seminggu tiga kali dia latihan renang. Dokter bilang agar beristirahat cukup—dia masih sering keluar malam dan pulang begitu larut. Dokter bilang untuk mengonsumsi obat secara rutin—dia pura-pura bego dan sering melewatkan kewajiban barunya itu. Khansa sampai heran, kira-kira model marah apa lagi yang bisa ia terapkan pada putranya yang sungguh bebal?

Kehadiran Alzam di Jakarta bahkan hampir dianggap tak berguna olehnya. Bagaimana tidak, lelaki itu sejatinya tak diam di rumah juga—tak bisa membantunya untuk menyadarkan Samudra—ia sibuk menyusur TKP, mencari bukti untuk investigasi ulang. Walau sering Khansa berpikir, bukti bagaimana kiranya yang dicari Alzam pada tempat kejadian perkara yang masanya sudah satu tahun lebih?

"Jangan merokok lagi, Rif! Bunda ceburin kamu ke got depan itu nanti!" Teriak Khansa pagi tadi pada anaknya yang langsung ngibrit ke garasi. Tapi apa daya, bersama dengan Reza, di belakang halaman sekolah, mereka tengah bersatu padu mengepul asap rokok.

Beda cerita dengan Adhisti di lain sisi, dia bangun dari dudukannya karena melihat Arsalan masuk kantin seorang diri. Mana dua cacing kepanasan yang biasa akan menempelinya?

"Arsalan." Adhisti memanggilnya. Mengikuti langkah jenjang itu ke depan meja tempat pemesanan.

"Mie ayam satu, teh dingin satu." Arsalan berseru pada Mbak Indah sebelum menembak Adhisti dengan pertanyaan ada apa.

"Sendirian aja. Dua monyet itu kemana?" Macam panggilan bisa Adhisti ciptakan dalam sekejap. Jika biasanya hanya untuk Samudra, maka kali ini Reza pun kena imbasnya.

"Sedang melakukan percobaan bunuh diri," jawab Arsalan formal, datar, dan biasa saja. Adhisti tercengang, melalui ekspresinya memaksa Arsalan agar berbicara lebih jelas.

"Di tempat biasa lagi merokok." Oke, kalimat Arsalan sebelumnya ternyata merujuk pada sebuah peringatan di kemasan rokok, merokok membunuhmu. Maka yang nekat merokok, dianggap sedang melakukan percobaan bunuh diri. Meski berkali-kali belum tentu mati.

Adhisti berterima kasih, mengucapkan selamat makan pula pada lelaki yang pesanannya sudah tiba di tangan. Kemudian, ia pergi ke lokasi yang disebut tempat biasa. Dua monyet itu masih ada di sana. Ralat, manusia.

"Kok lo ngajakin dia merokok, sih?" Baik Reza dan Samudra mendadak terperangah. Hendak mencerna pertanyaan Adhisti, maksudnya siapa yang diajak dan siapa yang mengajak?

"Samudra yang ajak." Reza cari aman. Tahu seberapa beringasnya gadis dari prodi IPA ini terhadap sepupunya. Biar ini menjadi masalah internal di antara mereka, seperti biasa.

Ujung rokok keduanya ditekankan pada lantai. Bara kecil itu mati meninggalkan asap terakhir. Mereka tetap pada prinsip, biarlah menjadi perokok aktif, asal tidak membuat orang menjadi perokok pasif. Mereka masih menghargai paru-paru Adhisti yang bersih, tanpa niat mengotorinya sama sekali.

Adhisti ikut lesehan di antara mereka. Pertama, melirik Samudra dengan tatapan tajam nan memicing. "Kayaknya gue bisa jadi agen FBI. Jadi mata-matanya bunda anggap aja sebagai masa training." Samudra terkejut, mata-mata katanya?

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now