𝐋𝐄𝐋𝐀𝐇

478 27 5
                                    

UTS berlangsung berdasarkan jadwal pembelajaran seperti biasanya. Jam pulang juga tetap sama, karena apabila UTS dapat diselesaikan dalam waktu cepat, proses belajar sebagaimana sehari-hari akan dimulai kembali.

Para siswa sudah memasuki hari ke empat ujian tengah semester itu. Masing-masing siswa tetap berada di kelasnya sendiri, karena ini bukanlah ujian akhir yang menggunakan sistem acak.

Samudra, Arsalan, dan Reza berhasil keluar bersama di hari ini. Bukan karena tenggat waktu yang diatur sama, melainkan pelajarannya saja yang terkesan gampang—olahraga.

Tak ada tujuan lain bagi mereka, selain kantin sebagai wahana pemusnah lapar. Ketiganya datang ke meja pemesan, sembari menunggu, Reza melihat satu hal.

"Itu Adhisti, ya?" Arsalan dan Samudra langsung mengikuti arah pandangnya. Memperhatikan seorang gadis yang sedang menunduk sambil mengaduk-aduk minumannya. Ia sendirian di pojok kiri kantin.

Samudra mengangguk sebagai jawaban. "Kok murung dia?" Tatapannya masih lekat ke arah Adhisti. Jika dibilang Adhisti galau akibat putus dengan Zevan, kenapa baru sekarang? Toh, kemarin biasa-biasa saja.

Pesanan mereka selesai dibuat, sebuah nampan dan tiga mangkok makanan di serahkan kepada Arsalan—hanya dia satu-satunya orang yang tidak terpaku ke meja Adhisti, dirinya masih tersadar saat Mbak Indah memanggil.

"Mau ke mejanya nggak?" Tawar Arsalan sambil mengangkat nampan mereka, tanpa pikir panjang, kedua insan lain itu jelas mengangguk.

Derap langkah yang begitu jelas nyatanya tak berhasil mengejutkan Adhisti dari lamunannya. Gadis itu masih terus menatap kosong hingga Samudra duduk di sampingnya serta Reza dan Arsalan ada di hadapan mereka.

"Lo kesambet kunti di kamar mandi lama? Hih, beneran angker tempat itu." Samudra bergidik ngeri setelah berbisik di telinga Adhisti. Tentu saja, ia langsung terkejut mendapati tiga manusia lain di mejanya.

"Sejak kapan lo di sini?" Adhisti bertanya heran.

"Kurang lebih sejak dua ratus empat puluh detik yang lalu. Benar, kan, Sal?" Tanya Samudra atas kepastian hitungannya. Arsalan mengangguk. Adhisti ber-oh panjang, kemudian diam lagi.

Samudra spontan menyenggol bahunya, agak keras hingga Reza terperangah. Love language kedua sepupu ini agaknya adalah physical attack.

"Kenapa, sih, lo?" Ia menuntut jawaban. "Nggak pa-pa," kata Adhisti acuh.

"Bodo lah. Keknya masih ngegalauin mantan yang nggak ada keren-kerennya." Karena kesal tak dapat pencerahan, Samudra lebih memilih menyantap makanan bersama kedua temannya.

Hingga beberapa saat ke depan, saat ia sedang menyendok bakso, Adhisti menyahut lirih. "Nggak ada waktu ngegalauin mantan biadab."

"Terus?" Samudra masih fokus pada makanannya. Adhisti terdiam lagi. Dalam hati Samudra membatin, agaknya dia memang kerasukan kunti.

"Lho, Dhis! Kenapa nangis?" Bukan hanya Samudra yang terkejut, Reza pun sampai hampir tersedak mendengar pernyataan Arsalan yang tiba-tiba. Samudra yang berada paling dekat langsung menghadap ke Adhisti.

"Eh, perkataan gue ada yang salah, ya? Pertanyaan gue nyakitin hati lo, ya? Duh, maaf dong." Samudra mendadak merasa bersalah. "Atau lo lagi PMS? Makanya sensi?" Adhisti menggeleng, masih dengan tangan yang menutupi wajahnya.

"Terus apa dong? Ih, jangan nangis. Entar kami bertiga dikeroyok sama warga kantin. Disangka macam-macam sama lo." Giliran Arsalan yang tersedak, ia spontan mengedarkan pandangannya. Syukurlah, tak ada sepasang pun mata yang melihat mereka.

Dalam tangisnya, Adhisti sebenarnya ingin tertawa juga. Bukannya menenangkan, Samudra masih sempat-sempatnya melempar guyonan. Gadis itu menyeka habis air matanya, menengadah ke atas agar embun itu tak tumpah lagi. Kemudian ia kembali bersikap biasa saja—dengan menyeruput lagi jus yang tadi dipesannya.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang