𝐊𝐄𝐑𝐀𝐒 𝐊𝐄𝐏𝐀𝐋𝐀

494 33 0
                                    

Sesuai dengan tekadnya, Samudra hanya mengambil cuti selama satu hari. Selanjutnya, anak itu kembali terlihat di sekolah, meski belum fit sepenuhnya.

Berkat pencapaiannya dalam lomba waktu itu, Samudra menerima beberapa penghargaan dan ucapan terima kasih dari sekolahnya. Ada beberapa menit bagi dirinya untuk berada di ruang guru dan bertemu orang-orang penting di lingkungan sekolahnya itu.

"Aduh, double nih, cairnya," goda Reza ketika mereka baru saja tiba di kantin. Semua orang juga tahu, Samudra sudah mendapatkan pasokan dana sebanyak dua kali dalam beberapa hari ini. Satu karena hadiah lomba, dan satunya lagi adalah tunjangan dari sekolah yang barusan diberikan.

"Traktir sabi lah." Reza kembali menyambungkan kalimatnya.

"Eits, nggak gue aja," tahan Samudra kemudian melirik Arsalan. "Tuh bocah juga. Ya, hitung-hitung membayar lelahnya meliput dalam hujan." Samudra menaikkan kedua alisnya. Dengan tatapan menggoda, kemudian tersenyum lebar.

Karena pada dasarnya, Arsalan ada makhluk yang paling anti dengan basa-basi, segera ia letakkan selembar uang hijau di atas meja.

"Samudra harus biru," ujarnya dengan tampang datar.

"Kebanyakan, anjir! Makan di kantin paling habis berapa, sih?" Sanggahnya yang merasa menjadi korban ketidakadilan. Harga makanan disini tentunya sudah menyesuaikan kantong remaja yang serba pas-pasan. Jika ada rezeki nomplok, itu hanya terjadi setelah sekian purnama.

"Taruh aja. Barangkali bisa dipakai untuk makan berapa hari." Jiwa-jiwa hematnya seorang Arsalan langsung keluar. Samudra mendelik, tapi tetap melaksanakannya. Hitung-hitung menyenangkan teman.

"Lo, yang nggak menyumbang dana, setidaknya menyumbang tenaga. Sana pesan!" Suruh Samudra mendorong pelan bahu Reza. Lelaki itu bangkit dengan cepatnya, senyumnya merekah. Tidak masalah, toh masalah biaya bukan termasuk urusan dia.

Sepeninggalan Reza yang kini tengah mengantri panjang, Samudra merogoh sakunya. Bukan untuk meraih ponsel seperti ekspektasi orang pada umumnya, melainkan untuk mengambil sebatang rokok beserta dengan pemantiknya.

Arsalan yang sebenarnya sedang memperhatikan sekitar dalam ketenangan hakiki langsung dibuyarkan oleh penampakan itu.

"Lingkungan sekolah, anjir," tegurnya dengan tatapan yang tajam.

"Halah, cuma di kantin. Nggak akan ada petugas BK juga. Reza pun paling sebentar lagi ikutan," jawab Samudra santai sambil meneruskan hisapannya pada rokok yang sudah terbakar.

"Lo baru habis sakit, Sam. Sadar dikit kenapa, sih?" Arsalan agak marah melihat perlakuannya.

"Sakit kemarin bukan karena rokok, Sal. Emang udah waktunya aja. Lagian, kena hujan juga, kan?" Samudra melayangkan pembelaan atas tembakau itu.

"Berantam, yok?" Arsalan sedikit muak, ketika Samudra terus saja membenarkan hal-hal yang salah. Selalu memanipulasi sebab agar rokok itu terlindungi.

"Ayok! Mau dimana? Langsung disini?" Tantang Samudra sambil menaikkan lengan bajunya.

"Woy, woy, woy! Apa, nih?" Reza yang baru sampai langsung meletakkan nampan di atas meja. Seketika dia mengambil posisi berdiri di tengah dengan tatapan bingung.

"Ambil, noh, teman lo. Baru beres sakit udah langsung merokok," jawab Arsalan dengan tatapan elangnya.

Reza melirik mereka bergantian. Setelah melihat keberadaan rokok yang menyala itu, barulah ia mengangguk paham. Ditepuknya bahu Arsalan sembari ikut mendudukkan diri.

"Kalem, Sal. Biarin aja. Seandainya mati pun, itu dia bukan lo," ungkap Reza dengan senyum manis di bibirnya.

"Udah, ah. Makan! Kayak bocil aja kalian mempeributkan hal-hal kecil," tuturnya sok lansia.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang