𝐌𝐄𝐍𝐘𝐀𝐓𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐊𝐄𝐏𝐈𝐍𝐆𝐀𝐍

335 39 2
                                    

Hari ini lumayan senggang (besok belum tentu) sesekali pengin update dua bab dalam sehari.

Semoga bisa dinikmati. Happy reading!

•••

Jadwal masih belum berganti, kelas Samudra akan selalu bertemu dengan kelas Adhisti di setiap jam olahraga. Kali ini, memilih untuk tidak memainkan segenap peralatan olahraga, Reza malah bertekad bulat untuk menemui Adhisti di pinggir lapangan. Tumben sekali, ia sedang sendiri, tak bersama dengan temannya seperti biasa.

Sadar akan kedatangan Reza dan jelas sekali menuju ke arahnya, Adhisti ganti posisi. Cepat-cepat ia berbalik, hendak melangkahkan kaki dan meninggalkan lelaki itu. Agak tidak enak suasananya, ketika harus berbicara baik pada seseorang yang sudah tak baik pada sepupunya.

"Adhisti." Reza lebih keras menahannya. Kemana pun Adhisti bisa melangkah, tapi kaki jenjang Reza akan lebih cepat mengikutinya.

"Bisa nggak ngomongnya berhenti aja?" Secara tak langsung Reza memintanya untuk menghentikan langkah. Menyelesaikan tindakan menghindar ini.

Dengan iringan nafas panjang akhirnya Adhisti berhenti. Di bawah sebatang pohon rindang, dua insan itu beradu tatap.

"Ada apa?" Nadanya masih datar. Masih belum rela bersikap biasa pada lelaki di depannya.

"Tau nggak, Samudra dimana?" Adhisti mengangkat kedua alisnya. Untuk apa Reza bertanya? Peduli kah dia? Bukankah belakangan dia juga bagaikan setan yang mengabaikan semua penyesalan Samudra?

Begitulah kira-kira pandangan orang terhadapnya. Padahal, bagi Reza sendiri, ia tak begitu kuat menjauhi Samudra. Beda dari Arsalan yang langsung membisu, Reza masih mengajak Samudra berbicara meski hanya sesekali, meski dengan nada datar dan belum pulih seutuhnya kenormalan komunikasi mereka. Reza masih peduli kepadanya untuk beberapa hal. Tapi, yang lebih tampak di banyak orang adalah keacuhannya.

"Ngapain nanya?" Adhisti membalas.

"Samudra udah tiga hari nggak hadir. Gue dapat info dari sekretaris kalau dia sakit."

"Terus?" Adhisti memandang remeh. "Dia, kan, emang sakit. Nggak hadir ya biasa aja. Wajar."

"Dimana dia, Dhis? Di rumah kah? Atau di rumah sakit?" Sejujurnya, Reza juga khawatir, terlebih sekarang ia sudah tahu bahwa Samudra mengidap penyakit kronis.

"Apa untungnya gue ngasih tau lo?"

Reza bergerak gelisah. Diacaknya rambut sendiri hingga beberapa kali. Begitu frustrasi dalam menghadapi Adhisti.

"Dhis, gue juga pengin tahu keadaannya. Gue juga pengin jenguk dia."

"Samudra nggak butuh itu. Nggak perlu lo temuin dia kalau ujung-ujungnya cuma pengin marah-marah. Samudra lagi nggak butuh makian lo. Jangan ganggu dia, kondisinya lagi nggak bagus." Perjalanannya bersama Samudra tempo hari bukanlah alasan di balik melemahnya tubuh sang sepupu. Melainkan ada hal lain yang melatarbelakanginya.

"Samudra di RS, kan? RS mana?" Dengan cepat ia bisa menyimpulkan. Kondisinya yang melemah pastinya membutuhkan penanganan medis yang serius. Keluarganya pasti tak tinggal diam dengan membiarkannya di rumah saja.

"Lo nggak perlu tahu. Za, nggak usah sok peduli. Nggak usah sok-sokan mau datang. Kehadiran lo nggak kami harapkan. Biarin Samudra istirahat. Jangan macam-macam."

Adhisti hendak mengakhiri obrolan. Dengan segera ia kembali mengatur langkah. Tapi, lagi-lagi Reza mengimbangi jalannya.

"Dhis, salah kah gue kalau pengin lihat keadaannya? Gue juga takut dia kenapa-napa."

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now