𝐄𝐏𝐈𝐋𝐎𝐆

403 32 3
                                    

Juni, 2021.

Tanggal empat belas kemarin, pengumuman SBMPTN sudah keluar. Berkat perjuangan yang panjang nan berat, Adhisti berhasil menjadi salah satu siswa yang lulus melalui jalur itu.

Dengan kenyataan bahwa program studi yang ia pilih bertentangan dengan jurusannya semasa SMA, maka Adhisti kala itu memang harus merelakan jalur SNMPTN.

Sastra Indonesia, menjadi pilihannya hingga akhir. Jurusan yang kala itu mungkin hanya dianggap sebagai persetujuan spontan—saat Samudra menyarankannya—dikira hanya sebatas bercanda, tapi ternyata diseriuskan oleh gadis itu.

Universitas Negeri Jakarta—yang dulu juga pernah ia kunjungi bersama Samudra—menjadi tempat bernaungnya sekarang, tempatnya melanjutkan pendidikan. Pagi ini pun ia akan ke sana sebentar, mengambil jas almamaternya dan menyelesaikan beberapa urusan.

"Kok belum berangkat, Dek?" Aliza menghampirinya yang duduk di teras rumah. Adhisti menoleh ke arah Mamanya.

"Iya, nih. Samudra lama banget jemputnya, padahal tadi katanya udah otw." Adhisti menggerutu sambil memperhatikan arloji di tangannya.

Aliza mengernyit heran. "Samudra mana? Samudra udah lama meninggal, Dek. Udah mau dua tahun, kamu belum ikhlas juga?"

Adhisti tersentak setelah mendengar ucapan mamanya. Ia mendengus frustrasi, lagi-lagi pikirannya melantur tak jelas. Ini pasti karena pesan lama Samudra yang barusan dibacanya.

"Sorry sorry, salah." Ia mengklarifikasi. Bersamaan dengan itu, di depan gerbangnya, sudah tiba seorang lelaki yang sejak tadi ditunggunya. Adhisti spontan berdiri dan menyalami Aliza.

"Dia maksudnya," ujarnya membenarkan nama—secara tersirat.

"Ternyata kamu, Za. Adhisti barusan, pagi-pagi udah ngaco, katanya dijemput Samudra." Aliza mengisahkan saat Reza baru melangkah ke teras untuk menyalaminya juga.

Reza mengangkat alisnya, memandang bergantian pada Aliza dan Adhisti.

"Mungkin lagi kangen aja, Tante." Reza coba membela. Aliza pun mengangguk, kemudian melepaskan kepergian dua anak itu. Entah takdir atau bagaimana, tapi pada akhirnya Reza juga berada di satu universitas yang sama dengan Adhisti, hanya beda jurusan saja.

Mereka tiba di kampus setelah beberapa waktu bersesak-sesakan dengan kemacetan Jakarta. Tujuan yang membuat mereka datang langsung dilakukannya, kemudian Reza mengajaknya untuk melihat taman kampus tersebut.

"Berdiri di situ, Dhis. Pemandangannya bagus, biar gue fotoin." Reza tiba-tiba mengeluarkan ponselnya, mengarahkan Adhisti untuk berpose di dekat hamparan bunga-bunga berwarna itu. Meski bingung, Adhisti tetap menurutinya.

Gadis itu bersiap untuk beberapa gaya. Mulai dari tersenyum simpul saja, melayangkan pose peach, hingga membentuk lambang hati dengan kedua tangan yang titik persatuannya ada di atas kepalanya.

Adhisti tersenyum girang, kemudian berlari kecil ke arah Reza untuk melihat hasil foto-fotonya.

"Cantik banget gue," pujinya untuk diri sendiri. Senyum Adhisti sangatlah manis, membuat Reza selalu terpana atas dirinya. Benar dugaan Samudra kala itu, Reza memang memiliki perasaan spesial terhadap sepupunya. Bahkan jauh sebelum Samudra menyadari itu.

"Iya, Adhisti selalu cantik." Reza membalas ucapannya, dengan senyum yang begitu tulus. Tatapan mereka bertemu dalam beberapa detik, sama-sama menyelam pada lautan rasa yang terbentuk seiring lamanya kebersamaan mereka.

"Za, makasih, ya," kata Adhisti dengan tatapan yang masih belum mereka selesaikan.

"Karena udah gue bilang cantik?" Reza menggodanya, meruntuhkan segenap keseriusannya.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now