𝐓𝐄𝐍𝐓𝐀𝐍𝐆 𝐊𝐄𝐆𝐄𝐋𝐀𝐏𝐀𝐍

527 29 5
                                    

Tak peduli sudah sepanjang lebar apa petuah Yudha kepada dirinya, Samudra tetaplah sosok yang begitu bebal dengan nasihat orang. Hanya berselang beberapa jam sejak adu ujaran itu, ia sudah melimpir ke tongkrongan langganannya untuk mengisi malam minggu. Menghabiskan segenap waktu pekat, sebelum menemui libur yang sesungguhnya.

Meski jadwal tanding serta ujian akhir semesternya sudah dekat, Samudra masih tetap santai seolah dua hal itu bukanlah apa-apa. Ia masih berani mengabaikan rentetan materi pelajarannya. Pun, mengabaikan kesehatan tubuhnya. Padahal dalam pertandingan, kesehatan atlet merupakan hal utama yang wajib dipertimbangkan.

Seperti biasa, tongkrongan juga diisi oleh Reza, Arsalan—yang tetap dengan pelajarannya—serta beberapa orang lagi yang tak ingin Samudra sebutkan namanya.

Meja itu senantiasa berantakan. Dipenuhi dengan botol-botol bekas minuman, dan puntung rokok yang habis terisap sejak pukul delapan tadi. Mereka layaknya saling bahu membahu dalam merusak paru-paru masing-masing.

"Di dalam bosan nggak, sih?" Celetuk Reza yang mungkin agak jengah karena terus-terusan melihat dinding yang bisu.

"Terus lo mau dimana? Genteng?" Sahut Samudra sambil menoleh ke arahnya. Segenap asap secara perlahan juga menghampiri wajah Reza.

"Cara naiknya? Terbang?" Segenap pembicaraan absurd memang sering terdengar dalam pertemanan mereka.

"Silakan, kalau lo punya sayap," jawab Samudra meladeni topik unfaedah itu. Tapi di satu sisi, ia teringat pada Aqila, yang tempo hari juga sempat menyinggung masalah ini dengannya. Mendadak, Samudra tersenyum tipis memikirkan gadis kecilnya.

"Tenang, nanti diedit pake piscart."

Tawa berderai bukan hanya dari Samudra, tapi juga Arsalan yang spontan mendongakkan kepalanya. Gayanya Reza, seolah jago saja dalam menggunakan salah satu aplikasi editan itu.

"Tapi, seru juga, ya? Kalau punya sayap." Arsalan menopang wajahnya dengan tangan. Matanya memandang jauh kesana, seolah tengah menghayalkan sesuatu.

"Kalau beneran punya, kayaknya gue harus pergi ke tempat-tempat yang indah."

Samudra dan Reza memandangnya dengan tatapan aneh.

"Memang semua hal yang berlebihan itu tidak baik. Termasuk belajar," ujar Reza dengan wajahnya yang begitu datar.

"Betul. Contohnya gini. Kebanyakan belajar membuat halunya jadi terlalu tinggi," sambung Samudra seolah menguatkan argumen.

"Cih! Kayak kalian nggak pernah berhayal aja. Coba, deh! Andai kalian punya sayap, apa nggak mau lihat-lihat Banda Neira dari atas? Nggak mau nikmatin Pantai Tangsi dari ketinggian?"

Pikiran Arsalan entah kenapa jadi terlalu jauh begini. Tapi, dua tempat yang baru disebutkannya memang benar-benar indah. Sangat memanjakan mata dan mampu menetramkan jiwa.

"Mau, sih. Tapi sadar dong. Kita hidup di abad ke-21. Nyari sayap dimana? Mending ganti, lihat dari pesawat," ujar Samudra. Entah karena apa fantasi dalam pikiran mereka tiba-tiba menjadi pembahasan yang menarik.

"Nggak bagus. Kekecilan. Kalau Pantai Tangsi, paling kelihatan warnanya." Arsalan tak mau kalah.

"Ya udah, pakai helikopter, deh. Kan bisa terbang lebih rendah." Reza lagi-lagi menanggapi.

"Bapak lo punya?"

"Nggak, sih."

Tawa keras langsung mengguncang warung itu. Kalimat sarkas dari Arsalan yang ditanggapi kepasrahan Reza, sukses membuat Samudra sakit perut. Dirinya bahkan sampai menyeka ujung mata yang berair akibat terlalu geli dengan pembahasan ini.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now