𝐀𝐖𝐀𝐋 𝐊𝐄𝐇𝐀𝐍𝐂𝐔𝐑𝐀𝐍

575 38 0
                                    

Pukul sembilan post meridiem, Khansa bergerak perlahan untuk membuka pintu kamar putranya. Ia baru tiba di rumah beberapa waktu lalu, sempat bersih-bersih sebentar, kemudian langsung menuju kemari. Hatinya tidak lagi tenang, sejak kabar itu sampai ke telinganya siang tadi.

Pemandangan Samudra yang sedang berbaring lelap, adalah hal yang pertama kali ia lihat. Seperti biasa, anak itu akan tidur menyamping, membelakangi pintu.

Dengan gerakan yang pelan pula, Khansa menaiki ranjang itu. Duduk tepat dihadapan putranya sembari menatap lekat wajah pucatnya. Rasa khawatir semakin menyergapnya, rona pucat ini, adalah rona yang sama dengan kondisinya beberapa waktu lalu. Saat anak itu, dinyatakan kekurangan HB.

Tangan Khansa bergerak, menyentuh beberapa helai rambut yang menutupi dahi Samudra. Surai hitam itu disisirnya ke samping, menghindari perasaan tak nyaman di area mata.

"Arif ..." Meski tau bahwa anaknya sudah terlelap, tapi Khansa terpaksa harus membangunkannya. Ada beberapa hal, yang perlu ia pastikan.

"Maaf, ya ... Bunda ganggu tidurnya sebentar," lanjutnya sambil terus mengelus pipi sang anak. Membuat gerakan-gerakan kecil agar ia terbangun.

Beberapa saat kemudian, Samudra mengerjapkan matanya. Sadar bahwa ada Khansa di sampingnya, anak itu spontan mendudukkan diri hingga membuat Khansa terkejut.

"Nak, pelan-pelan," serunya sambil menyambut tangan Samudra. Khawatir pusing akan mendera apabila bangkit secara mendadak seperti ini.

"Nggak pa-pa, Bun." Samudra mengulum senyum. "Bunda kapan pulang? Kok nggak ngabarin dulu?"

"Baru aja." Khansa ikut memberi ekspresi manisnya. Kepulangan yang mendadak, tentu karena sebab yang mendesak pula.

"Maaf, ya, Arif ketiduran. Sampai nggak sadar bunda ada di sini. Bunda ada perlu apa?"

Khansa menghela nafas panjang. Diraihnya dan digenggamnya lembut tangan Samudra. "Nggak ada yang serius, cuma mau pastiin kamu baik-baik aja."

Samudra mengangkat kedua alisnya. "Arif baik-baik aja kok, Bun."

Khansa mengangguk pelan. Berusaha tersenyum meski itu sedikit menyakitkan. Pandangan matanya mulai bergerak ke samping, melirik ke atas nakas tempat beberapa kemasan bekas obat-obatan tergeletak. Samudra pun, spontan mengikuti arah pandangnya.

"OH." Ia berseru sebelum menjelaskan. "Arif cuma demam, sedikit," lanjutnya yang diiringi dengan isyarat tangan.

"Kegiatan hari ini melelahkan?" Khansa begitu ingin tau.

"Lumayan. Pagi ada kelas olahraga, sorenya Arif latihan renang." Ini yang mungkin memberatkan kondisinya. Dalam tahap yang masih dikatakan pemulihan, Samudra sudah terlibat dalam kegiatan fisik yang cukup berisiko.

"Arif ..." Khansa kembali memanggilnya dengan nada yang begitu dalam. "Besok libur dulu, ya. Nggak usah sekolah. Kita ke rumah sakit, oke?"

Samudra lagi-lagi didera kebingungan. Plus, rasa ingin menolak karena ia tak ingin lagi ke tempat itu. "Buat apa, Bun?"

"Kontrol. Ingat, kan? Kamu masih dalam pemantauan."

"Tapi ini, kan, cuma demam, Bun? Tidak terhitung gejala baru atau gejala lama yang terulang. Demam tidak sefatal itu, kan?" Samudra mengajukan alibinya.

"Bagaimana dengan pingsan, Rif? Bukankah itu sesuatu yang fatal jika sering terjadi?" Pandangan Khansa berubah nanar. Sedikit kecewa karena harus mendengar kabar ini dari orang lain. Putranya sendiri, malah mempunyai niat untuk menyembunyikan kondisinya.

"Bun ..." Samudra mati kata. Di satu sisi, ia jelas tahu siapa yang telah membocorkan informasi ini. Namun, di sisi lain, muncul pula rasa bersalah atas kedustaannya.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now