𝐌𝐀𝐊𝐍𝐀 𝐋𝐔𝐊𝐈𝐒𝐀𝐍 - 𝐄𝐍𝐃

476 32 6
                                    

Selain angkatan abangnya yang sudah menemui kelulusan, Aqila juga sudah semakin bertumbuh sekarang. Gadis kecil nan mungil itu sudah berada di kelas tiga dan baru menyelesaikan ujian akhir semesternya beberapa hari yang lalu. Sekarang, Aqila masih ke sekolah, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sebagaimana lumrahnya. Di tahun ini, untuk ke sekian kalinya, Aqila juga berpartisipasi dalam lomba menggambar. Menciptakan karya-karya seni agaknya sudah menjadi hobi Aqila saat ini.

Khansa selalu mendukung kegiatan yang anak itu suka. Tidak pernah sekalipun Khansa atau Alzam melarangnya selama kegiatan tersebut baik dan bermanfaat. Biarlah Aqila mengikuti lomba sesuka hatinya, menang kalah tak perlu diambil pusing, yang penting Aqila senang dalam eksplorasinya. Sama seperti Samudra, Khansa tak akan membebani anaknya semata-mata hanya pada bidang akademik. Samudra dulunya bersinar di bidang olahraga, dan jika kini Aqila mungkin berpotensi di bidang seni, silakan saja.

Berselang tahun sejak kematian abangnya, secara perlahan Aqila juga mulai memahami makna keikhlasan. Sedikit-sedikit ia mulai mengerti pada ketentuan bahwa semua yang bernyawa akan menemui kematian.

Butuh waktu berbulan-bulan lamanya—pada masa awal kepergian Samudra—untuk Aqila bisa sedikit lepas dari bayangan abangnya. Beberapa hari setelah Samudra meninggal, Aqila bahkan sempat sakit, terserang demam tinggi dan kerap mengingau memanggil-manggil abangnya. Tak jarang, ia menangis dalam tidur dan mengatakan bahwa ingin ditemani Samudra.

Menyaksikan itu semua di depan matanya sendiri, Khansa juga ikut dirudung kesedihan. Kedekatan Aqila dan Samudra memang luar biasa, hingga ketika Samudra berpulang, Aqila jadi seterluka ini. Mungkin tak pernah sekalipun terlintas di pikirannya, bahwa ia akan kehilangan sosok Abang di usia yang sekecil itu.

Ini hari Sabtu dan seperti jadwal kantor pada umumnya, Khansa sedang libur. Ia duduk santai saja di ruang tengah, sedangkan Alzam tengah keluar sebentar mengurusi sesuatu.

Menjelang siang, mobil yang dikendarai Pak Harun masuk kembali ke garasi. Ia baru saja menjemput Aqila. Setelah tragedi naas itu, keluarga Samudra memang tetap memperkerjakan Pak Harun. Tak terbesit sedikitpun marah dalam hati mereka, apalagi sampai menyalahkan Pak Harun atas tragedi ini. Pak Harun juga korban dan segenap keluarga Samudra bisa menerima bahwa kecelakaan itu memang murni musibah yang menimpa mereka.

Suara Aqila yang berteriak-teriak girang terdengar dari balik pintu samping yang masih tertutup. Terdengar ia tengah mengatakan sesuatu pada pengasuhnya dan Pak Harun. Mereka tertawa saja menanggapi anak kecil itu.

"BUNDAA!!"

Pintu dibuka dengan kuat, Aqila langsung berlari menghampiri bundanya. Khansa tersenyum, tapi wajahnya juga dibuat seolah-olah terkejut akan kedatangan Aqila yang tiba-tiba. Khansa merentangkan tangannya, menyambut putri semata wayangnya ke dalam pelukannya.

"Anak bunda pulang-pulang girang banget. Kenapa, hem? Kenapa?" Khansa memeluk gemas tubuh kecil Aqila. Mendempetkan pula pipinya dengan pipi gembul anak itu.

Aqila mundur dari pelukan bundanya. Ia langsung memberikan selembar kertas berisikan lukisan yang sejak tadi rupanya sudah ditentengnya.

"Aqila juara satu!" Ia memekik girang. Khansa lagi-lagi terkejut sambil tersenyum lebar.

"Masyaallah. Aqila hebat sekali. Selamat, Sayang. Sini, cium dulu."

Aqila dengan senang mendekatkan dirinya. Khansa menangkup wajah anaknya, mencium mulai dari kening kemudian ke dua pipinya.

"Emang tadi disuruh gambar apa, Nak?" Khansa menerima hasil lukisan anaknya. Mengamati berbagai rupa yang sudah dihiasi warna itu.

Aqila beranjak untuk duduk di samping bundanya. Ia pun bercerita.

𝐒𝐀𝐌𝐔𝐃𝐑𝐀 [✓]Where stories live. Discover now