Chapter 2S

13.9K 238 16
                                    

-->

"Ryu le-lepas..."

"Ah, ya. Maaf, sakit yah? Aku terlalu senang. Tau tidak, dari kemarin aku sangat mencemaskanmu."

Ryu tersenyum sambil mengusap kedua lengan Yuri kemudian memanaskan air susu untuk istrinya.

"Sekarang ceritakan semuanya padaku," Ryu meletakan segelas susu untuk Yuri dan secangkir kopi untuknya di meja makan.

"Cerita apa?"

Mereka duduk berhadap-hadapan. Ryu mengambil selembar roti tawar kemudian mengolesnya dengan selai keju asin kesukaan Yuri. Setelah melihat isyarat mata Ryu, Yuri tersenyum sambil membuka mulutnya. Ryu menyuapi Yuri.

"Cerita tentang kejadian kemarin. Hei, kenapa?" tanya Ryu cemas saat melihat Yuri mengernyitkan keningnya.

"Rotinya pahit."

"Pahit? Coba," Ryu memakan roti yang di pegangnya.

"Tidak pahit. Nih coba sekali lagi,"

Ryu kembali menyuapi yuri.

Yuri memakannya sedikit kemudian menutup mulutnya dengan tangan.

"Rasanya pahit, Ryu."

"Pahit? Oh, aku ingat. Tadi malam kan kau demam tinggi. Pasti Lidahmu jadi sedikit bermasalah. Hmm..berarti kau belum sembuh benar."

"Aku sudah sembuh."

"Belum"

"Sudah"

"Be-lum, kau belum sembuh istriku"

Pipi Yuri merona mendengar kata 'istriku'.

"A-aku sudah sembuh..!!" teriak Yuri.

Ia berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.

"Huh...ya-ya, aku mengalah. Hmm...pasienku sudah bisa berteriak berarti...kau-memang-se-di-kit-sudah sembuh," kata Ryu mengalah.

Ia meminum kopinya sedikit sambil melirik Yuri yang memanyunkan bibirnya.

"Ah, tolong jangan begitu Yuri. Aku-jadi ingin menciummu," rajuk Ryu sambil tersenyum nakal.

Yuri mendelik sambil menutupi bibirnya dengan tangan.

"Dasar genit..!!" gemas Yuri dihati.

"Em...jadi apa saja yang kau lakukan bersama Mine kemarin?"

Ryu sudah tidak sabar untuk mengetahui apa yang terjadi pada Yuri kemarin.

"Kemarin Mine mengajakku mengelilingi taman dekat rumahnya dengan sepeda. Mine memboncengku..."

"Kau benar-benar tidak bisa naik sepeda?" Ryu menyela.

"He..aku tidak bisa, kalau rodanya tiga atau empat aku bisa" Yuri tersenyum kecil.

"Hmm...lalu?" Ryu ikut tersenyum sambil menopang dagu dengan sebelah tangannya.

Mata Yuri membulat melihat tingkah Ryu, "imutnya..." bisik Yuri di hati.

"Hei, lalu bagaimana?" Ryu melambaikan tangannya di depan wajah Yuri.

"E...la-lalu tiba-tiba dari arah depan ada sebuah mobil sedan yang melaju cepat ke arah kami. Untung Mine bergerak cepat membelokan sepedanya ke jalan trotoar..."

"Kalian jatuh?"

"Tentu saja"

"Terus," Ryu meminum kopinya lagi.

"Terus...jangan memandangiku begitu dong ! jadi susah ceritanya nih.!" Yuri menutup wajahnya dengan tangan.

Ia benar-benar gugup karena Ryu memandanginya terus.

"Siapa? Aku?"

"Siapa lagi, disini hanya ada kita berdua. Dasar..!"

Ryu tertawa mendengarnya.

"Lalu aku harus bagaimana? Kau aneh, biasanya orang merasa senang bila diperhatikan saat sedang bicara."

"Itukan biasanya, kau membuat aku jadi gugup tau?" guman Yuri pelan.

Ryu tertawa lagi mendengarnya, ia mengambil majalah yang tergeletak di atas meja kemudian menutupi wajahnya.

"Sudah, lihat wajahku sudah tidak terlihat bukan? Sekarang teruskan ceritanya."

Yuri pelan-pelan menurunkan tangannya, ia tersenyum melihat wajah Ryu yang tertutup majalah.

"Terus...ya kami berdua lecet-lecet. Mobilnya tidak berhenti, Mine bilang orang yang mengemudikan mobilnya perempuan."

"Perempuan?!"

Ryu melempar majalahnya karena terkejut.

"Mungkin perempuan itu masih belajar menyetir," Yuri membungkuk mengambil majalah yang terjatuh kemudian menyerahkannya pada Ryu.

"Huh...terus" Ryu menghela napas sambil menutupi lagi wajahnya dengan majalah.

Yuri tertawa kecil melihatnya.

"Terus kami ke

Cafe di dekat daerah itu untuk mengobati luka-luka sekalian memesan ice cream. Mine menanyakan sesuatu, lalu dia cemberut karena curiga aku menyembunyikan sesuatu darinya."

"Sesuatu?" Ryu hendak menurunkan majalahnya namun di tahan oleh Yuri.

"Ryu, diam dulu dong ! Aku belum selesai cerita. Lalu aku mengajak Mine ke wahana bermain supaya dia tidak marah lagi padaku. Sampai pusing kepala ini mengikuti kemauan Mine menaiki benda yang berputar-putar. Saat hendak pulang melewati jalan dekat parkiran, lagi-lagi ada mobil yang melaju cepat dari arah depan. Untung ada seorang pria yang mendorongku ke arah dalam jalan trotoar. Ternyata pria itu Kenzie. Kasihan pasti acara kencannya jadi tertunda karena sudah menolongku, bunga lily yang di bawanya juga rusak."

Yuri meminum susunya sampai habis. Capek juga terus bicara tanpa henti begini.

"Ryu," panggil Yuri.

Ia melihat Ryu tidak bergerak dari posisinya.

"Ryu, kau mendengarkanku?"

Yuri menarik majalah yang menutupi wajah Ryu perlahan.

"Kau...dua kali hampir tertabrak, tapi sekalipun tidak mengabari aku?" kata Ryu sedih.

Yuri terkejut mendengarnya, ia menundukan kepalanya karena tidak sanggup memandang mata hitam Ryu yang meredup dan sedih.

Tangan ryu mengangkat wajah Yuri perlahan.

"Tolong lihat mataku Azaki Yuri, aku ini suamimu. Kenapa kau tidak menelponku? Kenapa kau tidak memberitahuku? Kenapa kau membiarkanku tersiksa karena mencemaskanmu? Jawab aku, kenapa?"

Suara Ryu pelan namun dalam.

Entah kenapa dari sorot mata Ryu, Yuri dapat melihat kesedihan, kecemasan dan kekesalan hati suaminya itu kepadanya. Air mata menetes perlahan dari sudut mata Yuri.

"Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih dan cemas. A-aku memang ceroboh, ponselku tertinggal di rumah, a-aku..."

Ryu meletakan telunjuknya di bibir Yuri.

"Jangan diulangi lagi, mengerti? Jangan biarkan aku tersiksa karena seharian kau tidak memberi kabar apapun padaku."

Early weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang