Vol 3 halaman 7

12.2K 204 7
                                    

"A-apa yang Ryu lakukan?" tanya hatinya tidak percaya.

"Ryu menyentuhnya? Tidak...tidak mungkin, aku pasti salah lihat, a-ku pasti salah. Tidak mungkin Ryu, dia..." gumannya panik.

Sesaat Yuri memejamkan matanya berharap apa yang dilihatnya tidaklah nyata.

Namun setelah ia membuka matanya lagi yang dilihatnya tetap tidak berubah, membuatnya tanpa sadar mengigit bibir bawahnya kuat-kuat.

Ryu menggengam sebelah pergelangan tangan wanita itu sambil berjalan mendahului.

Beberapa kali wanita itu hampir terjatuh, ia nampak sangat kerepotan berjalan, karena Ryu melangkahkan kakinya lebar-lebar dan cepat.

Samar-samar Yuri juga mendengar suara wanita itu yang memanggil-manggil nama Ryu dengan manja.

Walau tampak dari manapun Ryu terlihat tengah menyeretnya, perasaan tidak rela tetap menyerang hati Yuri.

Ia tidak rela melihat Ryu menyentuh gadis selain dirinya.

Yuri sangat tidak rela, perlahan matanya mulai memanas.

Sekuat tenaga ia menahan rasa sedih dan marah yang membuatnya ingin menangis.

Ia ingin berteriak dan berlari mengejar mereka namun tenaganya seakan hilang tiba-tiba.

Yuri merasa terhempas ke dasar bumi sedangkan, hatinya sakit dan dadanya sesak.

Tidak dihiraukannya lagi keadaan sekitar, kini yang terasa oleh dirinya hanyalah kehampaan.

Sebuah perasaan seperti waktu itu terasa kembali dihatinya tetapi berlipat-lipat lebih sakit rasanya.

Kobe yang melihat perubahan wajah kakak iparnya segera mengikuti arah pandangnya ke luar jendela.

"Huh ... apalagi yang akan terjadi sekarang," gumannya pelan.

Ia menyangga dagunya dengan sebelah tangan sambil memandangi kakak iparnya dengan khawatir.

Cemburu? Ya, Kobe yakin kakak iparnya pasti cemburu lagi.

Dua jam telah berlalu. Pelajaran selanjutnya kosong karena gurunya tidak datang.

"Yuri chan, kau mau kemana?"

Mine melihat Yuri membereskan semua buku-bukunya, kemudian menggendong tas kuningnya.

"Yuri chan ...!"

Mine sudah gemas, karena dari tadi Yuri mengacuhkannya terus.

"Pulang," kata Yuri singkat setelah mengikat rambutnya menjadi satu.

"A-apa? Kenapa pulang? Sekarang baru jam sepuluh ...."

Yuri tidak menghiraukan Mine, sambil menahan pegal di kakinya ia mulai berjalan meninggalkan bangkunya.

Mine tidak tinggal diam ia segera menghadangnya di depan pintu.

"Yuri chan ..." suaranya melemas.

Hari ini ia benar-benar tidak mengerti akan sikap temannya ini.

"Mine," Yuri menghentikan langkahnya, "tolong, biarkan aku pulang. Aku merasa butuh istirahat."

"Kau masih tidak enak badan? tunggu sebentar, aku antar yah?"

Yuri menggeleng cepat.

"Tidak perlu, aku bisa sendiri. Jangan khawatir," Yuri berusaha memasang senyum dibibir sebelum berlalu dari hadapan sahabatnya.

Mine terdiam heran melihatnya.

Sudah sekian lama ia berteman dengan Yuri, baru sekarang ia melihatnya seperti ini.

Yuri tidak pernah begini, tegas hatinya.

Sahabatnya ini selalu bersemangat dan ceria, tapi sekarang?

"Seperti bukan Yuri chan-ku," gumannya pelan sambil menatap punggung Yuri yang menjauh.

"Ada apa dengannya? Ah ya, kobe pasti tahu. Benar, pasti ini semua ada hubungannya dengan sensei. Aku harus mencari Kobe. Kobe...Kobe...Kobe kau ada dimana sih?" Mine berguman sambil berlari menuju aula olah raga mencari Kobe.

Yuri terus berjalan melewati ruangan-ruangan kelas dengan hati pilu.

Bayangan Ryu yang tengah menyeret wanita tadi masih saja mengganggu pikirannya.

"Kenapa harus menyentuhnya sih?" gerutu Yuri.

Ia berjalan menghentak-hentakan kakinya sambil kembali menggigiti bibir bawahnya sampai luka.

Setelah meminta izin pada guru piketnya, Yuri segera berlari meninggalkan lokasi sekolah.

Ia tidak ingin Kobe atau Ryu tahu dirinya pulang lebih awal.

Tidak jauh dari tempat Yuri berdiri menanti taksi, seorang wanita di dalam sebuah mobil sedan hitam memerhatikannya dengan serius.

Ia membuang rokok yang tengah diisapnya begitu saja ke tengah jalan kemudian menginjak pedal gas perlahan mengikuti mobil taksi yang membawa Yuri.

"Bocah sial, berani-beraninya mencari masalah denganku. Kita lihat, hadiah apa yang bisa aku berikan padamu," senyum wanita itu mengembang sempurna.

Taksi yang membawa Yuri terus melaju melewati jalanan padat kemudian berbelok ke halaman apartemennya.

"Ryu hanya boleh menjadi milikku, hanya milikku."

Ia meraih pisau lipat dari laci mobil, memasukannya kedalam tas tangan sebelum akhirnya turun dari mobil mengikuti Yuri.

Wanita itu sengaja memarkirkan mobilnya di luar halaman apartemen.

Memasang senyum, berlagak melangkah tenang padahal matanya terus berkilat memerhatikan mobil taksi yang membawa Yuri.

Yuri menghapus airmatanya sebelum turun dari mobil.

Supir taksi yang merasa kasihan padanya menyodorkan sekotak tissu untuknya.

"Nona, sewaktu sekolah dahulu aku juga sering dimarahi guru," kata supir taksi itu karena menyangka Yuri tengah menerima hukuman dari gurunya.

Yuri memaksakan senyumnya, "terimakasih paman".

Supir itu mengangguk.

Yuri segera turun dari taksi.

Melambaikan tangannya tanpa menyadari bahaya yang tengah mengintainya.

Dengan kepala tertunduk lemas Yuri masuk kedalam cafe yang berada di seberang apartemennya.

Duduk di bangku paling pojok, kemudian memesan ice cream dalam porsi besar untuknya.

Ragu-ragu wanita itu juga ikut masuk kedalam cafe, ia mengambil tempat yang agak jauh dari Yuri.

"mau pesan apa nona?" tanya pelayan berseragam mengagetkannya.

"e...kopi, kopi saja dan...pai apel," jawab wanita itu sedikit gugup.

"baiklah, pesanan anda segera siap," kata pelayan itu sambil berlalu.

"sial, bikin kaget saja," makinya sambil kembali memerhatikan Yuri.

Early weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang