Chapter 2 Z

13.8K 230 12
                                    

"Huh, siapa sih?" Ryu beranjak malas dari tempatnya.

Yuri berusaha menahan tangisnya.

Dari sela-sela jarinya ia mengintip Ryu-yang hendak membuka pintu-dan ketiga teman suaminya yang sibuk mencari tempat sembunyi.

Bel pintu apartemen terus berbunyi tanpa henti.

Ryu bergegas membuka kunci pintu dengan kesal.

"Ya sebentar!" seru Ryu sebelum menarik pegangan pintunya.

"Ah Ryu, kau sedang apa sih?! lama sekali dibukanya. Aww, ya ampun, aku sudah tidak tahan, minggir-minggir!" sewot Kobe sambil cepat-cepat melangkah masuk.

Ia memegangi perutnya sambil meringis.

Semakin berjalan ke dalam, telinganya mendengar suara seorang wanita yang sedang menangis tertahan dengan jelas.

Matanya membesar, saat melihat siapa pemilik suara itu.

Kobe berjongkok sambil menahan sakit diperutnya, "hei, kakak ipar? Kenapa menangis? Cup...cup, sudah-sudah jangan menangis. Ah, aku tahu, pasti Ryu menyakitimu, iya kan? Ayo katakan padaku, akan ku hajar dia...."

"Kau yang akan ku hajar," Ryu menarik kerah jaket yang Kobe pakai dari belakang.

"Hei-hei lepas! kau ini, kenapa malah mau menghajarku?!"

"Huh, kebiasaan!!

Kau tahu, aku mencari jaket ini kemana-mana!" seru Ryu di telinga Kobe.

Tangannya membuka paksa jaket sport putih-hijau yang Kobe pakai. Selalu begitu, sepupunya ini sangat suka memakai jaketnya tanpa izin terlebih dahulu.

"Aduh, kenapa berteriak ditelingaku?! Kau sudah seperti kakak ipar saja. Ah, awas-awas aku sudah tidak tahan ...!" teriak Kobe sambil berlari ke kamar mandi.

"Hei Kobe, mana handphone-ku?"

Kemarin malam Ryu lupa mengeluarkan hp-nya dari saku jaket yang dipakainya menjemput Yuri.

"Di dalam tas sekolahku!" Kobe segera mengunci pintu kamar mandi.

Ryu menggeledah isi tas sekolah

Kobe.

Ia mendapati layar hp-nya mati.

Yuri mengamati wajah Ryu yang tengah cemberut memandangi hp-nya.

"Kau lihat? Apa salahku? sampai-sampai harus memiliki sepupu yang menyebalkan seperti dia," rajuk Ryu.

Ia duduk di hadapan istrinya sambil membersihkan sisa-sisa airmata Yuri dengan ibu jarinya.

"Huwaaah...!!" Kobe berteriak dari dalam.

Ryu dan Yuri terkejut mendengarnya.

Tidak lama kemudian ketiga teman Ryu berlari keluar dari kamar mandi.

"Ah, aku tidak tahan. bau sekali," Kenzie menggosok-gosok hidungnya.

"Yoshi ...! Kau mau membuat aku mati di dalam hah?!" seru Toru kesal.

Yoshi memasang wajah tanpa dosa, "jangan menyalahkan aku, kalian sendiri yang mengikuti aku untuk bersembunyi di dalam sana."

"Bersembunyi?" tanya Ryu dan Yuri bersamaan.

Yoshi tersenyum santai, "aku kira orang yang memencet bel tadi bibi Yoroshii."

Ryu dan Yuri menghela napas bersama.

Penyakit jantung ibu Ryu bisa kambuh bila ia sampai kaget karena melihat teman-temannya ada di apartemen ini.

"Ryu, buka pintunya nak!"

Mereka semua saling pandang.

"I-itu suara ibu?" tanya Ryu ragu.

Yuri menanggapinya dengan anggukan kecil.

"Apa? gawat!" pekik Kenzie sambil menarik Yoshi dan Toru masuk kembali ke kamar mandi.

"Huuwaaa....!" Kobe kembali berteriak karena kaget melihat ketiga teman Ryu masuk ke kamar mandi lagi.

Toru segera membekap mulut Kobe dengan tangan.

Kobe tidak bisa berontak, tenaga Toru sangat besar ditambah lagi perutnya masih sakit gara-gara kebanyakan makan saus pedas saat makan siang tadi.

Ke-tiga teman Ryu terpaksa menahan napas mereka saat mencium bau tidak sedap yang kembali menyebar di kamar mandi.

"Ryu, cepat sedikit!" teriak ibunya lagi.

"iya, sebentar...!"

Ryu bergegas membuka pintu.

Ibunya tampak kerepotan membawa tas dan kantong-kantong kertas berisi makanan.

"Tolong bawakan ini masuk Ryu. Huh ... anak itu meninggalkan ibu sendirian di bawah."

"Siapa? Kobe?"

"Hmm, siapa lagi? Mana anak itu sekarang?"

"Di kamar mandi, katanya sakit perut."

Ryu tidak bisa membayangkan nasib ketiga temannya yang sedang bersembunyi di dalam sana.

"Oh, Ryu mana menantuku? Ah, ternyata disini. Yuri kenapa duduk di bawah? Bagaimana, demamnya sudah turun?" ibu Ryu sibuk memeriksa kening Yuri.

"Demamnya sudah turun bu, hanya saja dari pagi dia tidak mau makan," jawab Ryu sambil meletakan bawaannya di atas meja.

Ibu Ryu memerhatikan wajah menantunya itu. Ia terkejut melihat mata Yuri yang agak bengkak.

"Yuri, kau habis menangis nak? Aduh, Ryu apa lagi yang ..."

"Aku tidak menyakitinya dan aku tidak melanggar janjiku, percayalah bu? Aku belum memakai pakaian karena baru selesai mandi,"

Ryu cepat-cepat menjelaskan sebelum telinganya menjadi korban.

"Benarkah itu Yuri?" tanya ibu Ryu tidak percaya.

Yuri memandang Ryu sejenak kemudian mengangguk pelan.

"Ya sudah, sekarang ayo beristirahat di kamar. Obatnya sudah diminum?" tanya ibu Ryu sambil membawa Yuri masuk ke kamarnya.

Setelah mendengar ibunya menutup pintu kamar, Ryu bergegas memanggil teman-temannya.

Yoshi dan Toru menyeret Kenzie yang sudah lemas keluar. Ke-tiganya tampak berlomba-lomba menghirup udara segar.

Sesekali Kenzie terlihat menahan rasa mual.

Setelah memastikan sekitarnya Yoshi buka suara, "ada berita penting yang mau aku sampaikan padamu."

"Berita apa?" tanya Ryu penasaran.

"Di cafe biasa jam 7 malam ini, aku tidak bisa mengatakannya disini."

"Ayo pergi, sebelum bibi Yoroshii melihat kita."

Toru melihat jam tangannya lalu berjalan cepat menuju pintu setelah menepuk pundak Ryu, "sudah jam dua siang, aku kerja dulu."

"Hmm, kami pergi dulu. Kita bertemu lagi di cafe nanti," Kenzie menepuk pundak Ryu sebelum pergi.

"Ry-ryu me-mereka ...."

"Diamlah, rahasiakan apa yang kau lihat."

Kobe hendak protes namun tidak jadi saat melihat ibu Ryu keluar dari kamar tidur.

***

Early weddingWhere stories live. Discover now