Vol 3 halaman 15

12K 213 14
                                    

Kepalanya jadi pusing sekarang karena melihat keakraban gadis itu dengan seorang pemuda yang duduk dibelakangnya.

Ia masih ingat, Ryu memanggil pemuda itu Kobe kemarin saat memintanya membawa gadis itu masuk kekelasnya.

Kemarin ia juga melihat dengan jelas, tanpa canggung orang yang di panggil Kobe menuntun gadis itu pergi.

"Aargh ...!" erangnya sambil berlalu dari sana.

Kepalanya seakan mau pecah, mungkinkah orang yang bernama Kobe itu kekasihnya? mungkinkah Ryu itu hanya sepupunya saja?

Tidak mungkinkan saudara sepupu saling jatuh cinta?

Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepalanya.

Hembusan udara dingin disekitarnya membuat ia merapatkan mantel panjangnya. Tidak ada jalan lain, ia harus mengakrabkan dirinya dengan gadis itu. Bagaimanapun caranya, toh itu akan menjadi keuntungan untuk dirinya bila gadis itu benar-benar sepupunya Ryu.

"Untung saja aku tidak melukainya kemarin."

Wanita itu berjalan menuju mobilnya sambil memandangi sebelah jari-jari tangannya yang terbalut perban.

Bel sekolah bunyi berkali-kali. Anak-anak disetiap kelas bersorak senang. Setelah memberi salam pada Sensei yang mengajar dikelas, para siswa-siswi saling berlomba untuk keluar dari ruangan.

Dengan sabar Mine menunggu Yuri memakai mantel tebal, sarung tangan, dan topi yang turut menutupi kedua daun telinganya.

Sesekali Mine menggosokan kedua telapak tangannya untuk mengusir hawa dingin yang terasa, padahal pakaiannya yang berlapis-lapis dan mantel tebal bertopi telah menutupi tubuhnya.

"Sudah?" tanya Mine.

Yuri mengangguk cepat kemudian menggendong tas kuningnya.

"Hari ini dingin sekali yah? Yuri chan, ayo kita mampir ke cofee shop di dekat taman kota, kabarnya mocca

Latte disana sangat ... enak."

"Emm ... lain kali saja ya Mine, hari ini aku harus segera pulang."

Jawaban Yuri membuat Mine heran.

"Kenapa harus segera pulang?"

Yuri berpikir cepat sebelum menjawab, "emm ... anaknya teman orang tuaku yang tinggal bersamaku di apartemen sedang sakit. Jadi ... aku harus segera pulang untuk menemaninya."

Yuri tidak berbohong, Ryu alias suaminya itu memang anak dari teman orangtuanya, dan sekarang hal yang paling diinginkannya adalah sesegera mungkin pulang ke apartemen.

Ia ingin cepat-cepat melihat keadaan Ryu.

"Oh ..." kata Mine kecewa.

Langkah kakinya jadi tidak seriang tadi.

Yuri yang menyadarinya segera menggenggam tangan sahabatnya itu.

"Mine chan, maafkan aku. Jangan marah yah? Hari ini benar-benar tidak bisa, besok saja pulang sekolah kita pergi kesana. Emm ... nanti aku yang traktir deh," kata Yuri membujuk.

Mine menganggukan kepalanya dengan malas.

Aneh, pikir Yuri, biasanya Mine langsung bersemangat bila mendengar kata traktir.

"Mine chan?"

"Hmm ..."

"Kau masih marah?"

Mine menggelengkan kepalanya.

"Lalu? Kenapa masih cemberut?"

"Emm ... kapan aku boleh main ke apartemenmu?"

Pertanyaan Mine yang tidak disangka-sangka membuat Yuri mematung ditempatnya.

"Huh ..." Mine menghela napas, selalu saja reaksi Yuri seperti ini setiap kali ia bilang ingin main ke apartemennya.

"Memangnya ada apa sih dengan apartemennya itu?" pikir Mine penasaran dihati.

"Yuri chan ... Sudah lupakan saja, ayo kita pulang. Rertoran mie ramen ayah pasti sedang ramai sekarang," Mine pura-pura riang.

Tangannya menarik Yuri yang masih saja terdiam dengan expresi aneh.

Sudah lama Mine merasa Yuri menyembunyikan sesuatu darinya.

Terkadang ia juga merasa sahabatnya ini jadi berubah. Sekarang Yuri jadi sering uring-uringan tidak jelas, kadang kala ia tersenyum-senyum terus, kadang juga ia diam melamun sepanjang waktu disekolah.

Benar-benar bukan Yuri yang dulu pikirnya.

Sejenak Mine melirik Yuri yang tengah menggigiti bibir bawahnya sebelum mereka berpisah di depan gerbang sekolah.

"Sampai jumpa besok Yuri chan, hati-hati dijalan. Kalau ada apa-apa telpon saja aku, yah?" Mine berusaha seceria biasanya.

Yuri tersenyum melihat sahabatnya ini kembali bersemangat, "ya, sampai bertemu besok Mine chan. Kau juga hati-hati yah, dah ..."

Yuri melambaikan tangannya.

Mereka berjalan kearah yang berbeda. Dahulu sebelum Yuri pindah ke apartemen, mereka selalu pulang bersama karena jalan menuju rumah mereka satu arah.

Yuri mendesah sambil membetulkan letak topinya sebelum melangkah pulang mencari taksi. Sampai kapan ia akan sanggup menyembunyikan ini semua dari Sahabatnya itu? Ada perasaan iri ketika mengingat ketiga sahabatnya Ryu saja sudah mengetahui rahasianya, lalu Mine sahabatnya sendiri bagaimana? Apa perlu ia memberitahunya?

"Huh ..." Yuri jadi bingung, ia merasa belum sanggup untuk melakukannya.

Yuri berjalan sendiri diantara teman-teman satu sekolahnya yang pulang searah dengannya. Sisa-sisa hujan salju semalam masih berantakan disekitarnya. Padahal jam sudah menunjukan pukul satu siang, tanpa sinar matahari seperti biasa tentunya.

"Hei ...."

Samar-samar Yuri merasa ada suara yang memanggilnya.

"Hei, kau," Yuri menghentikan langkahnya lalu berbalik.

Mata coklatnya membulat karena kaget.

Wanita yang sudah dua kali bertemu dengannya itu kini nampak tersenyum ramah kepadanya.

Yuri mengucek matanya tidak percaya, kemana perginya senyuman sinis yang kemarin-kemarin masih dilihatnya?

"Hei, kita belum kenalan bukan? Perkenalkan namaku Taniguchi Sachiko, kau boleh memanggilku Sachiko. Emm ... Siapa namamu?"

Yuri memandang heran melihat Sachiko mengulurkan tangannya.

Sejenak Yuri mengabaikan tangan itu, ia masih tidak percaya melihat sikap wanita itu yang jadi berubah drastis 180 derajat.

"Hei, kau mendengarku? Siapa namamu?" tanyanya sekali lagi.

Early weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang