Volume 3

13.9K 224 11
                                    

***

"Gadismu adalah targetnya sekarang," kata-kata Yoshi tadi kembali terngiang ditelinganya.

Ryu menendang kerikil dengan kesal sebelum masuk ke dalam mobilnya.

"Dengarlah Ryu, wanita itu sudah tidak waras. Ia sangat tergila-gila padamu," kini suara Toru seakan terdengar kembali.

Ryu mejatuhkan diri di jok belakang kemudi, kepalanya bersandar lemas.

Beberapa kali ia menghela napas, berusaha tetap tenang walau perasaan kesal dan khawatir menyerangnya.

Mata hitam Ryu bergerak menelusuri langit-langit mobilnya yang terlapis kulit berwarna hitam.

Ia baru saja keluar dari sebuah cafe ekslusif yang terletak di lantai teratas sebuah gedung perbelanjaan. Di cafe tadi Yoshi mengatakan semua informasi yang diketahuinya secara tidak sengaja. Akibatnya ketiga teman Ryu menduga, Yuri bukan kebetulan hampir tertabrak, namun seseorang memang sengaja menyuruh orang untuk menabrak istrinya.

"Coba pakai logikamu Ryu, apakah wajar dua kali hampir tertabrak mobil dalam satu hari?" pertanyaan Kenzie tadi kembali teringat dibenaknya.

Memang tidak wajar namun tidak ada bukti kuat, pernyataan dari Yoshi saja tidak cukup walau ia sangat yakin dengan apa yang dikatakannya pada Ryu tadi.

"Haruskah aku percaya?" guman Ryu pada dirinya sendiri.

Yoshi adalah temannya sejak kecil, walaupun selalu sembrono dalam bertindak ia tidak pernah bohong.

"Aku mendengarnya Ryu, ia memarahi orang ditelpon sambil mengupat kesal dan mengatainya meleyapkan gadis ingusan saja tidak becus," kata-kata Yoshi yang berapi-api seakan memenuhi kepalanya.

Ryu memejamkan mata, berusaha mengatur napas sambil mencerna kembali kata-kata yang disampaikan oleh temannya tadi.

"Kau ingat saat pesta ulang tahun Kenzie kemarin? Yuri hampir ditampar oleh wanita gila itu. Lihat matanya, walaupun bibirnya tersenyum, namun sorot matanya yang aneh tidak pernah lepas dari kalian berdua," kata-kata Yoshi tadi membuat Ryu cemas.

Ia khawatir pada keselamatan Yuri.

"Apa alasan dan tujuannya?" pikir Ryu.

Wanita yang mendekati Yuri dipesta itu bernama Taniguchi Sachiko, ia adalah adik kelasnya.

Sejak sekolah tingkat sembilan ia selalu berusaha mendekati Ryu. Sudah tidak terhitung kata-kata pernyataan cinta yang wanita itu sampaikan padanya, namun Ryu tidak pernah memedulikannya.

Ia memang tidak pernah peduli apalagi dekat dengan wanita manapun selain ibunya dan Yuri sekarang.

Anehnya wanita itu juga pernah mendekati ketiga temannya.

Sebagian hati Ryu masih tidak yakin dengan apa yang Yoshi katakan padanya tadi.

Selama ini wanita itu tidak pernah berani bertingkah macam-macam padanya.

Mungkin saja gadis ingusan yang dimaksud wanita itu bukan Yuri pikirnya.

Ryu menghembuskan napas perlahan sebelum kembali membuka matanya.

Jarum pendek jam tangan yang Ryu pakai sudah menunjukan pukul sebelas malam.

Ia bergegas menjalankan mobilnya menuju apartemen. Sekarang ibunya dan Yuri pasti sedang gelisah menunggu dirinya pulang.

Saat ia meninggalkan apartemen pukul setengah tujuh tadi deman Yuri belum reda. Suhu tubuh istrinya itu kembali panas siang tadi.

"Ah, andai saja bocah itu tidak sembarangan memakai jaket tanpa izin," keluh Ryu pada dirinya sendiri.

Ia masih kesal pada Kobe.

Sepanjang pagi sampai siang Ryu mencari hp-nya yang berada disaku jaket itu kemana-mana namun tidak ketemu.

Tidak sampai satu jam Ryu telah berada di garasi apartemennya.

Ia berusaha membuka pintu penghubung antara garasi dengan ruang tengah apartemennya tanpa suara.

Lampu utama dapur dan ruang tengah apartemen sudah dimatikan. Sayup-sayup Ryu mendengar suara dengkuran halus dan keras yang saling bersahut-sahutan dari ruang tengah.

Setelah melepaskan sepatunya Ryu berjalan mengendap-ngendap, senyumnya mengembang saat mengetahui tebakannya tidak salah.

Ayahnya tengah tidur sambil mendengkur keras diatas tempat tidur yang yang bisa beralih fungsi menjadi sofa santai diruang tengah.

Tepat samping bawahnya, kobe tidur terlentang disebuah kasur lipat yang entah ia dapat dari mana.

Ini pertama kalinya orangtua Ryu menginap di apartemennya.

Ryu merasa tidak tega melihat ayahnya tidur diruang tengah.

Tapi apa boleh buat, Ryu tersenyum geli. Salahkan saja orang yang menyuruh arsiteknya membuat model apartemen seaneh ini, pikir Ryu.

Semua ruangan memang didesain dengan ukuran yang lumayan besar dan mewah namun di apartemennya ini tidak tersedia kamar tidur lain selain kamar tidurnya yang berpintu dua itu.

Ryu teringat pada keadaan Yuri. Ia berjalan menuju kamarnya sambil berusaha melepaskan jaketnya.

Perlahan ia membuka pintu kamarnya tanpa suara.

"Sudah semalam ini mereka belum tidur," pikir Ryu heran karena mendengar suara orang mengobrol dari dalam.

Ia bergegas masuk karena ingin segera melihat keadaan Yuri.

Lampu kamar tidurnya masih menyala terang, padahal sekarang sudah hampir tengah malam.

"Apa gadis kecil itu menangis?"

Ryu menghentikan langkahnya tepat sebelum lorong kecil kamar yang dilewatinya habis.

Suara itu, Ryu mengenalnya. Pasti ibunya tengah menceritakan sesuatu pada Yuri pikirnya.

"Tentu saja Yuri, gadis kecil itu menangis dengan sangat keras karena balon udaranya menyangkut di antara dahan-dahan pohon." jawab ibu Ryu tenang.

"lalu?" tanya Yuri antusias.

Ryu masih terdiam mendengarkan dari tempatnya.

"Ryu yang tengah bermain bola tidak jauh dari sana segera berlari menghampiri gadis kecil itu. Membelai rambut gadis kecil itu sambil mendengarkannya bercerita. Ah, ibu selalu tersenyum sendiri bila mengingatnya," ibu Ryu tertawa.

Ryu mengerutkan kening, ibunya sedang cerita apa? Tanya hatinya.

Early weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang