Vol 3 halaman 19

12.3K 214 14
                                    

Ternyata orang yang pendiam akan sangat menakutkan bila sedang kesal seperti ini, pikir Kobe.

Ia tidak berani berkata apa-apa lagi pada Ryu.

Ia hanya mampu memandangi kakak sepupunya itu yang tengah memijit keningnya sendiri dengan penuh kekhawatiran.

Ryu merasa kepalanya semakin berdenyut-denyut. Semua ini membuat perasaan cemasnya kembali mengganggu ketenangan hatinya.

Tadi pagi sekitar pukul sembilan, Ryu yang merasa jenuh dikamarnya berniat duduk-duduk diruangan santai.

Namun niatnya itu tidak jadi terlaksana karena tanpa sengaja matanya menangkap sesuatu yang ada di bawah sofa.

Betapa kagetnya saat melihat sesuatu yang ditemukannya itu adalah jaket kulit berwarna pink yang dipakai kesekolah oleh istrinya kemarin.

Jaket itu nampak sobek dibagian tengah belakangnya.

Langsung saja Ryu menjadi tegang karena memikirkan kira-kira apa yang telah terjadi pada istrinya kemarin, dan mengapa jaket istrinya itu bisa ada di bawah sofa yang merupakan tempat favorite Kobe menyembunyikan benda-benda sejak kecil.

Matahari semakin bergerak menuju ke arah barat.

Waktu sudah menunjukan pukul empat sore.

Yuri terbangun dari tidur siangnya.

Senyumnya langsung mengembang kala menyadari tangan suaminya masih melingkar erat dipinggangnya.

Hembusan napas yang agak terasa panas perlahan menerpa daun telinganya.

Pelan-pelan Yuri menengok untuk melihat wajah Ryu yang tepat berada dibelakangnya.

Sesaat keningnya berkerut-kerut saat melihat wajah suaminya itu agak memerah.

Dengan tidak sabar Yuri segera menyentuh kening suaminya itu.

Mata coklatnya membulat seketika, ternyata Ryu demam lagi.

Dengan panik ia segera membangunkan Ryu. Hatinya sangat cemas karena takut Ryu tidak sadarkan diri lagi seperti tadi malam.

"Ryu, Ryu ...?"

"Hmm ..." pelan-pelan mata Ryu yang agak memerah terbuka sayu.

"Kau demam lagi, ya ampun, bagaimana ini?" kata Yuri bingung.

"Aku tidak apa-apa."

"Huh ... masih saja berkata seperti itu, suhu badanmu panas begini. Ah ya, minum obat. Toru bilang kau harus minum obat sore ini, tapi kau harus makan dulu yah? Tunggu sebentar, akan aku ambilkan."

Yuri segera meloncat turun dari tempat tidur menuju dapur tanpa menunggu pendapat suaminya.

Ryu hanya bisa memandangnya, saat ini tubuhnya terlalu lemas untuk bergerak. Kepalanya pun terasa berat, sehingga ia tidak ingin banyak berbicara.

***

Keesokan harinya, sepulang dari sekolah, Yuri menepati janjinya pada Mine.

Mereka berdua pergi ke cafe didekat taman kota.

Hari ini jadwal Yoshi yang mengawal Yuri pulang sekolah. Karena ia melihat Yuri masih bersama temannya maka ia belum mendekati Yuri. Dari tadi diam-diam ia mengikuti Yuri.

"Yuri chan, mau pesan mocca latte juga?" tanya Mine penuh antusias sambil melihat-lihat buku menu.

Yang ditanya malah melamun, sibuk dengan pikirannya sendiri.

Yuri sedang memikirkan keadaan Ryu.

Mine menghela napas melihatnya.

Dari tadi pagi Yuri seperti ini.

Selama dikelas ia hampir tidak bersuara sedikitpun, membuat Mine menjadi binggung setengah mati.

"Yuri chan ...!" teriak Mine kesal.

Beberapa pengunjung cafe yang ada disekitarnya sampai menoleh pada mereka berdua.

Yuri jadi terkejut, "sstt ... ya ampun Mine, jangan bikin malu. Ini bukan hutan tahu?" bisik Yuri sambil melirik sekitar.

Mine mengambil napas mencoba bersabar. Temannya ini benar-benar tidak menyadari bahwa ia berteriak itu karena kesal kepadanya.

"Ehm ... yuri chan? Kau mau pesan mocca latte juga?" Mine mengulang pertanyaannya pelan-pelan.

Yuri mengangguk cepat, "tentu, aku pesan minuman itu."

"Baiklah," kata mine ceria, ia kembali melihat-lihat menu makanan kecil yang akan dipesannya, "emm ... Yuri chan, sepertinya aneka cup cake ini enak, kau mau pilih yang mana?" tanyanya sambil menunjukan gambar berbagai macam kue bolu pada Yuri.

Yang ditanya malah terlihat tengah melamun kembali.

Mine menundukan kepalanya dengan lemas.

Kesabarannya sudah mencapai puncak.

Dari pagi tadi sudah tidak terhitung berapa kali ia diacuhkan seperti ini oleh Yuri.

"YURI CHAN ...!" kali ini Mine berteriak keras sekali.

Seluruh pengunjung dan pegawai cafe sampai berhenti bergerak karena kaget.

Yuri kembali terkejut, "ah, Mine chan? Apa yang kau lakukan?" katanya sambil menutup wajahnya dengan tangan karena malu.

Mine nampak terengah-engah karena telah melampiaskan kekesalannya dengan cara berteriak.

Setelah menyadari keadaan sekitar yang berubah jadi hening oleh suara manusia. Mine mulai memberanikan diri melihat kesekelilingnya.

Wajahnya memerah karena malu, semua orang tengah menatap super aneh kepadanya.

"Mohon maaf, aku tidak sengaja, maafkan aku. Silakan dilanjutkan lagi, aku mohon, maafkan aku. Aku tidak akan berisik lagi," Mine membungkukan badannya berkali-kali kesegala arah.

Para pengunjung saling berbisik-bisik sebelum akhirnya kembali melakukan aktivitas mereka.

Mine menatap Yuri yang tengah tersenyum kaku kepadanya.

Yah, kejadian seperti ini memang bukan yang pertama untuk mereka.

Mine memajukan bibirnya sambil kembali duduk dikursinya.

Matanya diam-diam terus memandang Yuri yang nampak biasa-biasa saja tidak merasa berdosa. Padahal ia berteriak tadi gara-gara kesal kepadanya.

"Huh ..." Mine menghela napas.

Ia tidak bisa berdiam diri lagi.

Cukup sudah batas kesabarannya dikikis oleh Yuri hari ini.

"Mine chan, aku mau cup cake rasa stoberi ini, kalau kau mau yang mana?" tanya Yuri santai.

"Aku mau semua."

"Hah?!" seru Yuri kaget sambil melihat kesebelas rasa cup cake yang ada dibuku menu.

"Aku mau semuanya," ulang Mine agak berteriak.

Ia masih merasa kesal pada Yuri.

Early weddingWhere stories live. Discover now