Vol 3 halaman 16

11.8K 214 7
                                    

"Hmm ... apa?"

"Namamu, siapa namamu?" Sachiko mengulang pertanyaannya.

Ia masih berusaha mempertahankan senyuman ramah di bibirnya.

"E ... aku Yuri, namaku ...."

"Ayo pulang."

Kobe muncul tiba-tiba sambil menarik tangan Yuri yang baru saja menjabat tangan Sachiko.

"Kobe ...!" teriak Yuri protes, ia sangat terkejut.

Kobe pura-pura tidak mendengarnya, ia terus menarik tangan Yuri untuk menjauhi Sachiko yang nampak kaget atas tindakannya yang tiba-tiba itu.

"Huh ..." Kobe menghela napas, hampir saja ia terlambat.

"Kobe ...! Lepaskan tanganku ...!" seru Yuri untuk kesekian kalinya.

Namun Kobe tetap tidak mendengarnya, dengan langkah yang mantap ia terus menarik Yuri menuju ke motor sport merahnya yang terparkir di pinggir jalan raya.

Tanpa banyak bicara ia memakaikan helm pada kakak iparnya itu.

Sorot matanya yang berubah serius dan menajam membuat Yuri benar-benar heran.

Masih tanpa berkata-kata ia menyalakan motor sportnya. Memberi isyarat dengan matanya kepada Yuri untuk segera naik ke atas motornya.

Setelah memanaskan mesinnya sebentar ia menjalankan motornya dengan perlahan.

Ia juga menatap Sachiko dengan sorot mata tajam penuh dengan peringatan.

Motor yang membawa Yuri semakin menjauh, ia hanya bisa menengokan kepala kebelakang untuk melihat Sachiko yang masih mematung ditempatnya dengan wajah tegang.

Dalam hati berbagai pertanyaan bermunculan.

Waktu di pesta ulang tahun Kenzie, ia melihat Yoshi memberi tatapan menakutkan pada Sachiko. Sekarang Kobe juga melakukannya, sungguh ia tidak habis pikir.

Ia juga sebenarnya tidak suka pada sikap wanita itu yang bagaikan berwajah dua dan nampak penuh dengan kepura-puraan.

Tapi tadi bukankah Sachiko tersenyum dengan cara yang bersahabat kepadanya? Walau mengherankan, tetap saja ia merasa sikap Kobe tadi sangat tidak sopan.

Yuri memandang punggung orang yang tengah memboncengnya ini dengan kesal bercampur heran.

Selama mengenal Kobe yang manja dan super usil baru kali ini Yuri melihatnya menatap orang lain dengan pandangan penuh bahaya seperti tadi.

Semua ini sangat mengherankan untuk Yuri.

Motor sport yang di membawa Yuri telah hilang dari pandangan mata Sachiko. Namun sedikitpun ia tidak bergerak dari tempatnya.

Posesive sekali pemuda bernama Kobe itu pikirnya.

Namun yang membuatnya terkejut adalah sorot matanya. Ia merasa tidak asing melihatnya, benar-benar mirip seseorang, tapi siapa?

Ia berpikir keras akan tetapi sedikitpun tidak terbayang olehnya.

"Ah, brengsek," kesalnya.

Orang yang bernama Kobe itu telah menghalangi langkahnya.

Baru saja ia akan mengakrabkan diri dengan Yuri untuk dapat mengambil hati Ryu sekaligus untuk menyakinkan dirinya bahwa Yuri itu benar-benar sepupunya Ryu.

Sekarang ia jadi harus mencari waktu lagi, "aargh ... Sial!" serunya kesal.

Ia melangkah pergi seakan tidak peduli pada pandangan aneh orang-orang disekitarnya.

Ia membanting pintu mobilnya dengan keras kemudian menginjak pedal gasnya dalam-dalam, sesegera mungkin ia pergi dari sana.

Beberapa gelas sake mungkin bisa meredakan rasa kesalnya pikir Sachiko.

Motor sport milik Kobe mulai memasuki halaman apartemen. Yuri segera turun setelah Kobe memarkirkan motornya di tempat khusus.

Sesekali Yuri melirik adik sepupu suaminya itu yang masih saja diam tidak bersuara.

Ingin sekali Yuri bertanya namun suaranya seakan tersendat di tenggorokan.

"Kakak ipar, aku mau beli roti dulu kesana," tunjuknya pada bangunan swalayan yang berdiri kokoh disebelah cafe.

"Kakak mau roti rasa apa?" tanya Kobe.

Ia mengambil helm yang Yuri pegang.

"Emm ... seperti biasa," jawab Yuri sambil memerhatikan raut wajah Kobe yang masih sedikit serius.

"Baiklah, nanti aku menyusul masuk."

Kobe berusaha tersenyum sambil melangkah menuju swalayan. Ia meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Berkali-kali ia juga mengatur napas, ia butuh sedikit waktu untuk membuat dirinya kembali biasa-biasa saja dihadapan kakak iparnya.

Kata-kata Yoshi semalam membuatnya tidak tenang.

Yuri menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil memandang punggung Kobe yang menjauh.

"Huh ... hari ini penuh dengan orang-orang aneh," gerutunya sambil berbalik melangkah masuk ke gedung apartemennya.

"Aku pulang ...!" teriak Yuri setelah masuk ke dalam ruang apartemennya.

"Ah, sudah pulang yah? Kebetulan sekali. Yuri, aku pergi kerja dulu. Sudah hampir jam dua siang. O ya, tolong cegah Ryu, bila ia banyak bergerak. Obat untuk diminumnya sore nanti sudah aku letakan diatas meja belajarmu.

Nanti malam aku datang lagi untuk memeriksanya ok?" Toru tergesa-gesa memakai sepatunya setelah berbicara panjang lebar.

"Aku pergi dulu."

"Emm ... Toru?"

"Ya?" Toru menghentikan langkahnya.

"Terimakasih yah," Yuri membungkuk.

"Hei, jangan seperti itu. Ryu sudah seperti saudaraku sendiri. Ini hanya hal kecil, jangan sungkan.

Ah, ya ampun, aku hampir terlambat. Yuri, ingat pesanku," katanya sambil membuka pintu.

"Ok."

Toru tersenyum mendengarnya kemudian menghilang dibalik pintu.

Yuri memakai sendal khusus untuk dirumah sambil tersenyum, setelah menikah dengan Ryu ia merasa memiliki banyak saudara.

"Yuri? Kau sudah pulang? Bagaimana ulangannya?" tanya Ryu saat Yuri masuk kekamarnya.

"Emm ... agak sulit sedikit. Semoga saja nilainya tidak jelek supaya tidak perlu mengulang," Yuri berjalan mendekati Ryu.

Jarum infus masih menancap di pergelangan tangannya.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Yuri khawatir karena melihat wajah Ryu masih pucat.

"Aku merasa...senang," jawab Ryu sambil tersenyum.

Yuri cemberut mendengarnya, "bukan itu maksudku."

Early weddingWhere stories live. Discover now