Vol 3 halaman 6

12.7K 226 10
                                    

Yuri menutup mulutnya dengan tangan karena kaget melihat siapa orang yang terkena hantaman sepatunya itu.

Dalam hati Yuri segera menghitung mundur, bersiap lari kabur dari tempatnya.

"Aduh, ya ampun. Senpai, kau tidak apa-apa?"

Suara manja seorang wanita membuat Yuri berhenti menghitung.

Ryu mengusap kepalanya dalam diam kemudian berjongkok memungut sebelah sepatu putih yang terlihat tidak asing dimatanya.

"Hei, murid kurang ajar! Dimana sopan santunmu hah?!" seru wanita itu galak.

Mata Yuri membulat saat dengan jelas melihat siapa wanita yang tengah berada didekat Ryu itu.

"Kau...?" tunjuknya sambil berjalan mendekat dengan agak terpincang karena memakai sepatu sebelah.

Ia wanita gila di pesta ulang tahun Kenzie waktu itu.

"Mau apa ia kemari?" gemas Yuri dihati.

Wanita itu memandang sama kagetnya dengan Yuri.

Ryu segera menangkap sebelah tangan istrinya agar tidak terlalu mendekati wanita itu.

Yuri yang masih kaget akan kehadiran wanita itu tidak menyadari kalau sebelah tangannya tengah di genggam Ryu erat-erat.

Wanita itu berusaha menyembunyikan pandangan sinisnya di balik senyuman.

"Sedang apa kau disini?" tanya Yuri kesal.

"Apa pun, bukan urusanmu anak kecil," jawab wanita itu tak acuh sambil memandang Yuri dari atas ke bawah.

Senyum meremehkan mengembang sekilas dibibirnya.

Yuri semakin kesal mendengar nada suaranya yang sengaja dibuat-buat lembut.

Ia hendak maju mendekati wanita itu, namun Ryu segera menariknya ke belakang.

Perang mata antara mereka berdua dimulai saat Ryu berjongkok hendak memakaikan sepatu yang di pegangnya ke kaki Yuri.

Yuri sedikit terkejut saat Ryu menyentuh kakinya yang terbungkus

Kaos kaki putih selutut.

"Pegangan," kata Ryu seraya meletakan tangan Yuri di bahunya.

Wanita itu memalingkan wajah saat melihatnya.

Ryu mulai memasukan kaki Yuri ke dalam sepatunya dengan hati-hati.

Menyimpulkan tali sepatu istrinya kemudian memeriksa perban yang masih melingkar di sebelah lutut Yuri.

"Bukankah ada ulangan di jam pertama? Bel baru saja berbunyi. Masuklah," kata-kata Ryu yang lembut membuat Yuri mengangguk menurut walau agak kesal dihati karena merasa Ryu mengusir kehadirannya.

Sekali lagi wanita itu memalingkan wajah ke sembarang arah.

"Jangan berlari, lukanya belum kering benar," bisik Ryu sebelum Yuri berbalik.

"Kobe...."

Kepala sepupunya muncul dari balik tembok.

"Sedang apa disana? Cepat masuk," Ryu memandang penuh isyarat.

Kobe yang sudah paham segera menarik tangan Yuri, "ayo," katanya pelan setelah memandang penuh penilaian pada wanita yang terlihat asing dimatanya itu.

Beberapa waktu yang lalu, Ryu memintanya untuk membantu menjaga keselamatan kakak iparnya ini. Ryu tidak ingin Yuri sampai celaka lagi seperti waktu itu.

"Jangan berlari," kata Ryu memperingati sekali lagi.

Yuri tidak membantah atau berontak dari pegangan tangan Kobe, sesuatu rasa yang tidak dimengertinya merasuk perlahan ke dalam hati.

Sekali lagi Yuri menoleh kebelakang sambil berjalan.

Wanita itu tersenyum sinis kepadanya, Yuri meleletkan lidahnya sebagai balasan.

Ada perasaan kesal dihatinya saat melihat wanita itu berdiri di dekat Suaminya.

Tapi Yuri teringat kembali pada kata-kata Ryu waktu itu.

Ia harus percaya pada suaminya, " harus," tegas hatinya sekali lagi menguatkan dirinya sendiri.

Waktu seakan berjalan sangat teramat lambat.

Di dalam kelas Yuri terus melamun sambil menggigiti ujung pensilnya sampai rusak.

Mine menengok kebelakang, memandang Kobe untuk meminta penjelasan.

Sebagai jawabannya Kobe hanya mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu.

"Yuri chan?" panggil Mine untuk kesekian kalinya.

Yuri diam saja tidak menjawab.

Ia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Apa yang wanita itu dan Ryu lakukan setelah aku pergi dari sana yah? Ah, aku menyesal tidak mengintip mereka tadi. Bagaimana kalau wanita itu berusaha menggoda Ryu? Manja-manja pada suamiku, pura-pura sakit, minta digendong, atau mereka pergi makan siang berdua," gerutu Yuri dihati.

Perasaan sesak mulai menyiksanya.

"Aaaaggh ... tidak boleh...!" teriaknya keras-keras tanpa sadar.

"Ehm-ehm ... Azaki Yuri, kerjakan soal-soal ini didepan."

Suara berat guru matematika yang sedang berada di kelas membuat Yuri terkejut.

"Azaki Yuri ...."

"Ya, sensei."

"Cepat kerjakan," katanya dengan penekanan disetiap kata-katanya.

Yuri menelan ludah memaki dirinya sendiri.

Diam-diam ia melirik Mine dan Kobe secara bergantian. Keduanya pura-pura sibuk tidak mau melihat kearahnya.

Dengan langkah gontai Yuri berjalan ke depan kelas, memandangi angka-angka rumit yang terpajang di papan tulis.

Kepalanya terasa pusing melihat soal-soal itu.

Dengan ragu-ragu Yuri tersenyum kaku memandang guru matematikanya yang duduk di ujung meja sambil memegang penggaris.

Dari awal Yuri tidak memperhatikan sedikitpun pelajaran yang disampaikannya.

"Maaf sensei, aku...aku tidak bisa," kata Yuri jujur sambil membungkukan badannya.

Guru matematikanya menatap kesal, "Azaki Yuri, berdiri di pojok sana."

"A-apa?"

"Angkat kaki sebelah, pegang telinga dengan tangan," tunjuknya ke pojok kelas dengan penggaris.

"Tidak ada bantahan," katanya lagi saat melihat Yuri sudah siap merengek.

Semua mata memandang kearahnya.

Mine menatap prihatin sedangkan Kobe menutupi wajahnya dengan buku berusaha keras menahan tawanya agar tidak meledak.

Yuri memelototinya, "awas saja kau bocah, berani menertawakan aku. Awas saja, awas...!" gerutunya kesal dihati.

Suara langkah sepatu wanita yang beradu dengan lantai menarik perhatiannya.

Matanya melebar saat memandang ke jendela.

Early weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang