Vol 3 halaman 13

12.3K 240 19
                                    

"Nah, ketemu ...!" teriak Kobe heboh sambil berlari mendekati ketiga teman-teman Ryu yang terbengong-bengong melihat tingkahnya.

"Ini, baju seragam kakak ipar juga sobek disini," ia menunjuk sisi bagian tengah belakang pakaian kemeja putih dan blaser seragam sekolah Yuri dengan panik.

Tanpa sengaja ia melihatnya tadi saat Yuri membuka jaketnya.

Kenzie ribut merebutnya, mengukur besar sobekan itu dengan jarinya.

Sobekan di kemeja Yuri lebih kecil daripada sobekan di jaket dan blasernya.

"Fiuh, apalagi ini? Tidak mungkinkan ada ranting setajam pisau yang bisa menembus pakaian serapi ini."

Ucapan Kenzie yang asal-asalan itu membuat ketiga pasang mata menatap serius kearahnya.

"Tidak ada noda darah?" tanya Yoshi serius.

Kenzie menggelengkan kepala setelah kembali memeriksa baju Yuri.

"Sungguh tidak masuk akal, ini tidak bisa dibiarkan. kita harus gantian berjaga."

"Maksudnya?" tanya Kobe tidak mengerti.

"Yoshi, untuk sekarang ... kita tidak perlu membebani Ryu dengan hal ini. Kondisinya belum pulih."

"Tenang saja Toru, aku mengerti. Secepatnya kita harus bagi-bagi jadwal untuk berjaga, jangan ada seorang pun yang lengah. Ah, tanganku sudah gatal ...! Aku sangat yakin, pasti dia ...! Arrgh, brengsek," seru Yoshi tertahan.

"Hei-hei aku belum mengerti!" seru Kobe gemas.

Ketiga teman Ryu menghela napas bersama setelah memandangnya.

"Hoaam ... aku ngantuk," Toru menjatuhkan dirinya kembali di atas kasur lipat.

Kenzie yang melihat aksi Toru jadi ikut-ikutan, "Hoaam ... aku juga ngantuk nih. Yoshi, geser sedikit."

Kobe jadi kesal melihatnya, ia memandang tajam kepada satu-satunya makhluk yang juga sudah siap-siap mau pura-pura menguap.

"Ah ... ya ampun, hentikan tolong hentikan tatapanmu itu. Ah, aku lupa kalau kau itu sepupunya Ryu. Heran, mirip sekali mata kalian itu, huh ... baiklah aku akan ceritakan padamu, dengar baik-baik dan rahasiakan ini semua dari kakak iparmu, kau mengerti?"

Kobe mengangguk cepat, memasang telinganya lebar-lebar untuk mendengarkan cerita yang akan Yoshi sampaikan kepadanya.

Detik demi detik terus berlalu.

Hujan salju sudah mereda setelah semalaman turun di daerah Shinjuku dan sekitarnya.

Kini waktu sudah menunjukan pukul setengah enam pagi.

Toru mengendap-ngendap masuk untuk memeriksa keadaan Ryu. Sudah tiga kali ia bolak-balik dalam semalam, namun

Yuri sedikit pun nyaris tidak bergerak dari posisinya.

Tidurnya sangat pulas, Toru tertawa kecil melihatnya.

Setelah selesai memeriksa tekanan pada tabung oksigen yang membantu Ryu bernapas, Toru keluar dari kamar kemudian menutup pintu tanpa suara.

Beberapa saat kemudian jari jemari Ryu mulai bergerak satu persatu. Hembusan napas seseorang yang tepat mengenai keningnya perlahan membuat Ryu ingin membuka mata.

Namun sedetik kemudian matanya kembali terpejam karena silau pada cahaya disekitarnya.

Gerakan tangan seseorang yang tiba-tiba berpindah melingkari pinggangnya membuat Ryu kembali mencoba untuk membuka matanya. Beberapa kali Ryu juga merasa ada sesuatu yang bergerak-gerak di atas dadanya.

Dengan susah payah Ryu membuka mata, mengedarkan pandangannya untuk memerhatikan sekitar. Seketika keningnya berkerut-kerut mencoba mengingat apa yang telah terjadi kepadanya.

Dalam keadaan masih bingung ia mencopot alat oksigen yang terpasang menutupi hidung dan mulutnya.

Perlahan Ryu juga mengangkat sebelah tangannya yang terasa pegal. Ternyata sebuah jarum infus menancap di pergelangan tangannya.

Wangi shampo yang dikenalnya membuat senyum Ryu tiba-tiba mengembang.

"Yuri ...." bisik Ryu dengan suara serak.

Pandangannya teralih melihat seorang gadis yang tengah tertidur pulas diatas dadanya.

Tangannya bergerak pelan membelai rambut coklat panjang milik istrinya itu.

Ia merasa sangat lega melihat Yuri ada didekatnya seperti ini.

Sepasang mata Yuri mengerjap perlahan. ia merasa ada seseorang memanggil namanya. Sebuah tangan yang mengelus kepalanya membuat ia mendongak.

"Ryu?!" serunya kaget saat ia menegakan kepalanya.

Ryu tersenyum pada istrinya, wajahnya nampak masih pucat dan tatapan matanya masih sayu.

Tangan yuri terulur menyentuh pipi Ryu perlahan.

Ryu kembali memejamkan matanya, merasakan kehangatan yang terpancar dari tangan gadis yang disayanginya.

"Ryu ... " panggil Yuri lembut.

Ryu membuka matanya kembali, mata Yuri nampak sudah basah.

"Syukurlah kau sudah sadar, aku sangat cemas, maafkan aku Ryu, gara-gara aku kau jadi ...."

"Ssttt ... Jangan menangis, lihatlah, aku tidak apa-apa."

Tangisan Yuri malah semakin keras mendengarnya.

Ryu segera memeluknya, "hmm ... jangan pergi seperti itu lagi yah, kau tahu? aku merasa hampir gila karena mencemaskanmu. Maafkan aku Yuri, kau harus percaya padaku, aku ...."

Yuri meletakan telunjuknya di bibir Ryu. Pelan-pelan ia mendekat kemudian sekilas mencium suaminya.

"Aku yang salah, aku yang seharusnya meminta maaf, seharusnya aku tidak meragukanmu Ryu, maaf, tolong maafkan aku, maafkan aku yang ...."

Kata-kata Yuri terhenti saat Ryu tiba-tiba menciumnya.

"Aku hanya menyukaimu Yuri, kau satu-satunya gadisku. Kau harus percaya padaku, kau harus percaya."

"Aku percaya," Bisik Yuri sambil mencium kening suaminya.

"Aku sangat percaya sekarang," kemudian ia mencium kedua pipi Ryu.

"Aku tidak akan membuatmu cemas lagi," Yuri mencium puncak hidung suaminya.

"Aku ..." Yuri menggantung kata-katanya. Kedua tangannya merangkum wajah Ryu yang masih pucat, "aku berjanji padamu Ryu, aku berjanji" Yuri kembali mencium Ryu dengan lembut.

Perasaan yang membuat hatinya sakit telah hilang tanpa bekas.

Early weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang