Chapter 2 o

13.1K 116 10
                                    

--->

Yuri merasa tidak bertenaga untuk berontak dari gendongan Ryu. Badannya benar-benar lemas, ia malah menyandarkan kepalanya di dada Ryu dan melingkarkan tangannya di leher Ryu.

Setelah ia mendudukan Yuri di jok depan sebuah mobil Jeep kuning berhenti tepat di samping mobilnya.

"Terimakasih Kenzie," kata Ryu agak keras.

Kenzie mengangkat jempolnya sambil tersenyum kemudian berlalu melewatinya.

Ryu segera duduk di belakang kemudi. Tangannya sibuk meraba kening dan pipi Yuri.

"Kau demam?! ya ampun, kenapa dagumu lecet begini?" kata Ryu khawatir.

Yuri tidak menjawab hanya meringis saat Ryu menyentuh luka di dagunya.

"Kita kerumah sakit sekarang," Ryu menyalakan mobilnya.

Yuri menarik lengan baju Ryu sambil menggeleng lemah.

"Kau harus diobati Yuri, luka-luka ini juga."

Yuri kembali menggelengkan kepalanya.

Ryu menyipitkan matanya sedetik kemudian ia menepuk keningnya sendiri. Ia baru ingat kalau Yuri itu phobia pada rumah sakit. ibunya pernah bercerita waktu umur Yuri enam tahun, ia pernah hilang di rumah sakit beberapa jam. Saat di temukan Yuri tengah menangis sambil menjerit histeris karena ketakutan melihat korban kecelakaan yang masih berlumuran darah.

"Baiklah, kita pulang saja kalau begitu" kata Ryu mengalah.

Ia menghela napas berat kemudian menjalankan mobilnya.

Yuri berusaha tersenyum kemudian memejamkan matanya karena lelah.

Ryu melirik Yuri yang sudah tertidur di sampingnya. Yuri memang cepat tidur, Ryu tersenyum tipis melihatnya kemudian kembali menempelkan tangannya di kening Yuri sambil berusaha tetap fokus menyetir.

"Suhu badannya panas sekali, bagaimana ini?" guman Ryu khawatir.

Setelah beberapa saat berpikir ia mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya untuk menelepon seseorang.

"Moshi-moshi,

Toru kau masih kerja?" kata Ryu pelan.

"Ya, ada apa?" jawab Toru di sebrang.

"Kalau begitu aku kesana sekarang, kau belum pulang kerumah kan setelah kuliah praktek tadi?" tanya Ryu sambil melirik Yuri sekilas.

"Belum, memangnya kenapa?" tanya Toru lagi.

"Nanti ku jelaskan, ok?" Ryu menutup ponselnya sambil melirik istrinya yang nampak tertidur dengan tenang. Pipinya memerah karena suhu badannya panas.

Setelah melewati beberapa lampu merah, Ryu membelokan mobilnya ke sebuah pom bensin. Kemudian ia berhenti di parkiran cafe yang ada di sebelahnya setelah melambaikan tangannya pada Toru yang tengah bekerja mengisi bensin pada sebuah mobil.

Toru yang melihatnya segera berlari menghampiri, Ryu membuka kaca mobilnya.

"Ada apa Ryu?"

"Tolong periksa gadisku, dia...demam."

"Apa? Bawa saja kerumah sakit kalau begitu."

"Tidak-tidak, dia takut pada rumah sakit. Cepat sedikit Toru nanti dia keburu bangun."

Ryu sangat khawatir melihat keadaan Yuri. Toru yang masih bingung segera berlari pergi memasuki sebuah ruangan khusus karyawan pom bensin. Sudah setengah tahun Toru bekerja paruh waktu di tempat ini.

Tidak sampai sepuluh menit, Toru sudah kembali sambil membawa tas ransel hitam miliknya. Ryu membuka pintu mobilnya perlahan. Toru segera mengeluarkan Stetoskop dari tasnya kemudian memeriksa keadaan Yuri. Ryu membantu Toru membuka jaket putih yang Yuri pakai dan menempelkan Termometer di ketiak istrinya.

"Hmm...dia kelelahan, perutnya kosong. Suhu badannya...dia demam biasa Ryu. Kenapa dagunya luka begini? Apa dia jatuh?" tanya Toru sambil memasukan kembali Stetoskopnya kedalam tas.

"Kenzie bilang dia hampir terserempet mobil di dekat parkiran wahana bermain, kebetulan Kenzie lewat, dia menyelematkannya tadi."

Ryu terlihat sangat khawatir.

"Apa?! Untung gadismu selamat," pekik Toru.

"Dia baik-baik saja kan? Maksudku..."

"Tenang saja Ryu, demamnya tidak parah. Dia hanya kelelahan dan lupa tidak mengisi perutnya. Kompres saja keningnya dengan air hangat untuk menurunkan panas demamnya. Berikan juga obat penurun panas padanya setelah makan nanti. Kalau besok kondisinya belum membaik paksa saja dia, bawa kerumah sakit."

Toru menulis sesuatu di kertas kemudian menyerahkannya pada Ryu.

"Aku belum lulus dan resmi jadi dokter. Maka dari itu belum bisa memberikan resep obat padamu. Coba beli saja obat penurun panas ini di apotik, biasanya cukup ampuh."

"Ok, terimakasih Toru. Maaf mengganggu waktu kerjamu."

"Tidak apa-apa, cepat sana pulang. semoga gadismu segera sembuh."

Toru menepuk pundak Ryu pelan sambil tersenyum melihat wajah temannya yang berusaha menyembunyikan rasa cemasnya.

Ryu mengangguk kemudian segera masuk ke dalam mobilnya.

"Hei, kalau ada apa-apa atau ada yang tidak kau mengerti telpon saja aku."

"Ok, terimakasih sobat. Hah...semoga kau cepat menjadi dokter."

"Setahun setengah lagi Ryu, sebentar lagi bukan?"

Ryu hanya menjawabnya dengan senyuman kemudian menjalankan mobilnya meninggalkan Toru.

Sesekali Ryu melirik Yuri yang masih nampak terlelap, tangannya juga berkali-kali menyentuh kening Yuri.

Beberapa kali Ryu juga mendesah khawatir, konsentrasi menyetirnya juga seakan hilang.

Setengah jam telah berlalu, matahari sudah tenggelam. Mereka sampai di apartemen pukul setengah tujuh malam.

Ryu tidak membiarkan Yuri berjalan sendiri. Ia kembali menggendong Istrinya menuju kamar tidur. Yuri terlalu lemas dan lelah untuk berontak atau menolak. Ryu juga membantunya melepaskan jaket putih, sepatu dan stoking selutut yang dipakainya.

Yuri tertunduk malu dan meringis saat Ryu melepaskan stoking selutut merah muda yang dipakainya.

"Aduh?! kenapa kakimu bisa luka-luka lecet seperti ini?" tanya Ryu khawatir.

Ia melihat kedua lutut dan betis kiri Yuri yang lecet dan berdarah cukup parah.

--->

Early weddingWo Geschichten leben. Entdecke jetzt