Chapter 2a

15K 252 10
                                    

-->

"Tidak ada orang, tidak ada taksi. Bagaimana ini?" lututnya lemas.

Yuri terduduk di pinggir jalan.

"Bagaimana aku bisa keluar dari sini?" katanya putus asa.

"Ah, handphone."

Yuri teringat hpnya kemudian mencari-carinya di dalam tas gendong yang berwarna kuning.

"Tidak ada, kenapa tidak ada? Bagaimana ini?"

Yuri kembali duduk dengan lemas, airmata kembali membasahi pipinya.

Langit sudah hampir gelap, Yuri menutupi wajahnya dan kembali larut dalam kesedihan.

"Kemana Ryu? Kenapa dia tidak mengejarku? Aku benci, benci..." katanya kesal.

Beberapa saat kemudian, samar-samar Yuri mendengar suara motor mendekat ke arahnya.

Jantungnya jadi berdebar kencang karena ketakutan. Yuri memasang telinga lebar-lebar, suara motor itu semakin mendekat. Ia tidak berani menurunkan tangan dari wajahnya karena ketakutan. Berbagai bayangan buruk memenuhi kepalanya.

Motor itu berhenti tepat di hadapan Yuri.

"Pergi kau orang jahat, jangan ganggu aku!!" teriaknya tanpa melihat sekitarnya.

"Kau pasti penculik, atau gangster!! Pergilah, ku mohon jangan ganggu aku!!" teriak Yuri sekali lagi.

Mesin motor itu tiba-tiba dimatikan, kesunyian kembali berlomba dengan napas Yuri yang terdengar naik turun.

Sudah beberapa menit berlalu, Yuri merasa pegal dengan posisinya itu.

Sunyi, hanya suara angin yang menerpa dedaunan yang di dengarnya.

Yuri mulai ragu atas suara kendaraan yang di dengarnya tadi, nyata atau hanya khayalan? Pikirnya.

"Jangan-jangan itu suara hantu kampus, tidak-tidak maksudnya hantu motor" Yuri bergidik mengingat sepinya tempat yang ia pijak saat ini.

Dengan rasa penuh penasaran perlahan Yuri menurunkan kedua tangannya.

Ia terkejut, hal pertama yang dilihatnya adalah seseorang berhelm hitam yang dengan santai menopang dagu, tangannya bertumpu pada sebuah helm lain di depannya.

Ya, Yuri kenal pemilik motor sport berwarna merah itu.

"Kobe..." lirihnya.

Matanya yang sedikit bengkak memerhatikan sekitarnya, berharap melihat sebuah mobil lamborgin putih milik Ryu akan tetapi tidak ada.

Dadanya kembali sesak, hatinya sangat kecewa karena suaminya ternyata tidak mengejarnya.

Airmata sudah siap keluar lagi namun ditahannya sekuat tenaga.

Yuri mencoba berdiri kemudian memakai helm yang di sodorkan kepadanya.

Yang ada dipikirannya adalah ingin cepat-cepat keluar dari tempat yang sepi ini.

Tanpa menunggu lama Yuri naik keatas motor itu sambil kembali menangis bersamaan dengan melajunya kendaraan roda dua yang membawanya keluar dari wilayah universitas ini.

Hatinya benar-benar sakit, kekecewaan memenuhi setiap rongga dadanya. Ternyata seperti ini sikap suaminya padanya, sungguh keterlaluan pikirnya. Yuri benar-benar tidak habis pikir, entah seperti apa jalan pikiran suaminya itu.

Matahari telah tenggelam seluruhnya, jalanan di Distrik Shinjuku semakin ramai. Lampu-lampu berkelap-kelip di sepanjang jalan. Rertoran, hotel, mall dan tempat hiburan malam padat dikunjungi orang-orang.

Motor sport yang membawa Yuri masuk kesalahsatu gedung tinggi bercat putih.

Yuri baru menyadari keadaannya setelah motor yang membawanya terus melewati jalan menanjak di dalam gedung yang kemudian berhenti tepat diatas atapnya.

Yuri membuka helmnya kemudian memandang hamparan pemandangan yang unik dimatanya.

Langit cerah terbentang luas, bintang-bintang bertaburan. Terlihat jelas pemandangan kota di malam hari yang nampak lebih ramai dari pada siang hari. Samar-samar yuri mendengar suara musik-musik yang terbawa oleh angin.

Tiba-tiba tangan Yuri ditarik kedepan sehingga melingkari pinggang seseorang yang berusaha membuka helmnya.

Yuri berusaha melepaskan diri namun kedua tangannya dipegang erat oleh orang itu.

"Hei, bocah tengik. Jangan kurang ajar, aku ini kakak...."

Kata-kata Yuri terhenti saat melihat siapa orang yang dari tadi memboncengnya itu.

"Ryu..." lirihnya.

Mata yuri mulai berkaca-kaca, airmatanya tidak tertahankan lagi.

Ryu memalingkan wajah memandang bintang-bintang dilangit. Tangannya terus menggengam erat tangan istrinya yang melingkar dipinggangnya sehingga mau tidak mau Yuri menangis sambil bersandar di punggungnya yang lebar.

Yuri dapat mendengar cepat dan kerasnya detak jantung Ryu. Entah mengapa Yuri menjadi gugup mendengarnya.

"Maafkan aku karena telah membuatmu menangis" kata Ryu pelan.

Yuri tidak menjawab tangisnya malah semakin menjadi.

Setelah tangis Yuri agak mereda, Ryu turun dari motor kemudian menghapus sisa-sisa air mata Yuri dengan ibu jarinya. Mereka beradu pandang, matanya yang sehitam langit malam berusaha menembus kedalam hati Yuri.

"Kau tahu, aku baru merasakannya, saat bertemu pertama kali denganmu. Jadi...tolong ajari aku untuk memahami hatimu, sungguh aku belum pernah merasakannya pada gadis lain. Jadi tolong ajari aku"

Ryu membungkuk sedikit untuk mencium Yuri sekilas.

Bagai patung yang kaku Yuri tidak bergerak, hanya airmatanya saja yang terus keluar semakin deras dan wajahnya yang jadi bersemu merah.

Ryu tersenyum menggoda melihatnya, kemudian menghapus airmata Yuri dengan sapu tangannya.

"Jangan buang ingus di bajuku lagi."

Ryu memberikan sapu tangan itu kemudian memeluk Yuri erat-erat.

Yuri memejamkan matanya untuk merasakan kehangatan yang menenangkan hatinya.

Sampai detik ini pun ia masih tidak mengerti dengan apa yang dirasakan oleh hatinya.

"Apa yang harus aku lakukan? Hatiku berontak bila melihat ada gadis lain yang mendekatimu. Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku," jerit Yuri dihati.

"Percayalah padaku, pernikahan bukan sebuah permainan. Kau harus percaya padaku" bisik Ryu.

-->

Early weddingWhere stories live. Discover now