Vol 3 halaman 32

10.5K 196 7
                                    

Sudah satu jam berlalu. Butir-butir salju lembut yang turun membuat suhu udara semakin dingin menusuk kulit.

Kobe yang dari tadi memerhatikan Yuri dari dalam gedung rumah sakit mulai gemas dan khawatir.

Sedikitpun Yuri terlihat tidak bergerak dari tempatnya. Wajahnya pun masih ia sembunyikan diantara kedua lututnya.

"Ayo kakak berdiri. Kau harus bisa. kau harus kuat," Kobe berguman sendiri tanpa melepas pandangannya dari Yuri.

Sebelah telapak tangannya berpegang pada kusen jendela sedang sebelah tangannya lagi terkepal erat.

Sekuat tenaga Kobe menahan dirinya untuk tidak berlari menghampiri kakak iparnya yang tampak gemetaran itu. Ia tahu kakak iparnya itu kini pasti tengah sangat ketakutan.

Ia juga sangat sadar bahwa memaksa Yuri masuk ke dalam rumah sakit ini adalah sikap yang terbilang sangat kejam. Ia mengerti saat ini kakak iparnya itu tengah tersiksa batinnya. Ia mengakui bahwa dirinya sudah lepas kendali tadi.

Kobe merasa bersalah dan sangat menyesal sekarang. Semua kata-kata yang terucap dari mulutnya tadi hanyalah bohong belaka. Sedikitpun Kobe tidak membenci Yuri. Kobe menyayangi Yuri seperti halnya seorang adik menyayangi kakaknya. Ia benar-benar menyayangi kakak sepupu dan kakak iparnya itu.

Kobe juga berbohong dengan mengatakan ia menyesal karena telah memercayakan kebahagian Ryu pada Yuri.

Tadi Kobe sengaja berbohong untuk memancing Yuri agar emosi. Ia terpaksa berbohong agar kakak iparnya itu bangkit melawan ketakutannya. Ia berharap phobia kakak iparnya itu sembuh.

Tetapi Kobe mulai putus asa sekarang. Usahanya terlihat tidak berhasil. Sedikitpun Yuri tidak bergerak dari tempatnya. Yuri juga seolah tidak peduli pada udara yang semakin dingin karena hujan salju yang belum reda itu. Ia membiarkan salju itu mengenai rambut panjang dan tubuhnya.

Sudah satu jam Yuri seperti itu. Kobe sudah tidak tahan lagi melihatnya. Hati Kobe mulai berontak melihat tubuh kakak iparnya yang masih tampak gemetar ditempatnya.

Tidak bisa dibiarkan, pikirnya.

Satu jam diguyur salju dengan jiwa yang ketakutan seperti itu pasti akan membuat kakak iparnya jatuh sakit. Kobe mulai memutar otak. Ia sudah tidak sabar lagi ingin segera melihat keadaan Ryu, tetapi ia tidak mungkin membiarkan Yuri sendiri disana dalam kondisinya yang seperti itu.

"Ah, tidak ada jalan lain," pikirnya. Ia harus memaksa Yuri masuk. Kalau perlu Kobe berniat akan menggendongnya saja walaupun nanti kakak iparnya itu akan berontak atau memukulinya.

"Ya, aku akan menggendongnya saja," Kobe bersiap mengenakan tutup kepala yang menempel di jaketnya.

"Jangan," sepasang tangan terasa menahan kedua bahunya.

Kobe terkejut kemudian segera menoleh kebelakang, "Yoshi?! Kau ...?"

Yoshi memandang Yuri dari jauh sambil tersenyum tipis, "dia harus sembuh."

"A-apa? Tapi Yoshi dia ..."

"Dia harus melawan rasa takutnya, Kobe. Aku yakin Saat ini ia tengah berusaha melawannya."

"Aaargh," Kobe merasa putus asa, "Yoshi, sudah satu jam dia diam seperti itu disana," katanya khawatir.

"Aku tahu," kata Yoshi tenang, "kita tunggu saja."

Kobe hanya bisa menghela napas pasrah melihatnya. Dalam hati ia membenarkan kata-kata Yoshi itu. Kobe jadi semakin membatin sekarang. Sekuat tenaga ia menahan gerakan jiwanya yang ingin berlari menghampiri Yuri.

***

Lampu berwarna merah yang ada tepat di atas pintu bertuliskan ICU itu masih menyala.

Kesabaran Sachiko perlahan mulai menghilang. Sudah dua jam ia menunggu. Benar-benar mengesalkan, geramnya.

Early weddingWhere stories live. Discover now