Chapter 2T

13.9K 214 7
                                    

--->

"Jangan di ulangi lagi mengerti? Jangan biarkan aku tersiksa karena seharian kau tidak memberi kabar apapun padaku."

Ryu berkata lembut. Yuri mengangguk pelan, entah kenapa airmatanya malah semakin banyak keluar. Ryu segera menghapus air mata Yuri dengan ibu jarinya.

"Mulai sekarang, kau harus rajin-rajin menghubungiku. Kabari aku, apa yang sedang kau lakukan? Bagaimana keadaanmu? Supaya aku tidak cemas."

Yuri mengangguk sekali lagi, tangisannya malah semakin keras.

"Sudah-sudah, jangan menangis lagi. Apakah suaraku terlalu keras dan kasar? Maafkan aku Yuri, aku hanya..."

Yuri bangkit berdiri kemudian berlari memeluk Ryu. Perasaan gugup dan aneh datang menyerang Ryu, membuatnya bingung sekaligus terkejut akan sikap Yuri yang mendadak ini.

"Aku yang salah, kenapa malah kau yang minta maaf? Kau terlalu baik padaku, padahal aku tidak pernah memerhatikanmu, aku tidak pernah menanyakan keadaanmu saat di luar rumah. Aku juga tidak pernah mengingatkan waktu makan dan lain-lainnya. Maafkan aku Ryu, a-aku baru menyadari kesalahanku, aku masih belum terbiasa dengan keadaan ini. A-aku..."

Yuri menghentikan kata-katanya.

Ryu tidak berhasil menahan perasaannya, ia mencium Yuri dengan perlahan dan lembut.

"Nanti juga kita akan terbiasa dengan keadaan ini," bisik Ryu setelah beberapa saat.

Dengan susah payah ia menghentikan aksinya itu.

Yuri masih mematung dalam posisi masih melingkarkan tangannya di leher Ryu. Ia sangat kaget karena Ryu menciumnya saat ia tengah berbicara. Ryu sibuk menghapus sisa-sisa air mata Yuri dengan tangannya. Napasnya memburu, hangat menyapu wajah Yuri yang entah sejak kapan berubah menjadi semerah stroberi.

"Em...Yuri, aku sudah mengambil yang ke-empat. Apakah boleh aku mengambil yang kelima sekarang?" tanya Ryu pelan.

Yuri diam saja, matanya tidak berkedip. Ia belum tersadar dari rasa terkejutnya.

Ryu tersenyum nakal, ia segera mencium bibir Yuri sekali lagi. Yuri segera menahan napas kemudian perlahan menutup kedua matanya, ia tenggelam dalam kelembutan yang baru beberapa kali dirasakannya. Kelembutan yang membuat otaknya berhenti sesaat.

Setelah beberapa menit, Ryu menjauhkan wajahnya perlahan. Alarm tanda bahaya di kepalanya sudah berbunyi dari tadi, berusaha keras mengingatkannya. Yuri membuka mata perlahan, memandangi wajah tampan yang tengah tersenyum kecil padanya.

"Emm...istriku, kalau...kau terus memelukku seperti ini, aku...aku...jadi tidak bisa berhenti..."

"A-apa?"

Yuri seakan baru tersadar.

Mata cantiknya mengerjap beberapa kali, membuat Ryu tanpa sadar membasahi bibirnya sendiri.

"Yuri, a-aku...tidak bisa berhenti dan..."

"E...a-aku mau menyiram bunga," Yuri segera melepaskan pelukannya kemudian berlari pergi meninggalkan Ryu.

"Dan...ingin menciummu terus. Huh..."

Ryu menghembuskan napasnya kemudian tersenyum sambil menyentuh bibirnya.

Ia berbicara di hati sambil memandangi cangkir kopinya, "rasanya sulit sekali menghentikannya. Hei, siapa yang tahan? Aku lelaki normal dan..." tanpa sengaja Ryu mendengar sesuatu dari dekatnya.

"Ah...hei, Kobe mengintip itu tidak baik."

Tiba-tiba Ryu mengambil handycam mini yang Kobe pegang. Dari tadi Kobe bersembunyi di balik tembok setengah pinggang yang membatasi dapur.

"What? sial, ketahuan..!" desis Kobe kesal, padahal tadinya ia sudah sangat senang karena berhasil merekam mereka berdua saat tengah berciuman.

"Hmm...masih ingin di hajar rupanya," Ryu meregangkan otot leher dan tangannya setelah menghapus semua gambar yang Kobe rekam.

"Hah?! Ryu tenang-tenang, tolong tenanglah. Siapa yang mengintip?!" Kobe melangkah mundur.

"Siapa yang mengintip?" tanya Ryu sarkatis.

Ia menggulung lengan kaos putih pendeknya sampai kepundak. Otot-otot lengannya membuat Kobe melangkah semakin menjauh. Mata Ryu memandang tajam penuh bahaya.

"Ah...maafkan aku Ryu maaf...! Kakak ipar...! tolong aku..!!!"

'Bruk'

Ryu berlari menerjang Kobe, mereka berdua terjatuh. Ryu menarik kedua telinga sepupunya sambil menahan tubuhnya di lantai. Kobe meronta-ronta sambil berusaha melawan. Yuri yang mendengarnya segera berlari keruang tengah.

"Hei, ada apa ribut-ribut?"

"Kakak ipar...to-long a-ku..!!"

"Rasakan ini, ini juga. Bocah usil, buang sifat isengmu itu. Keterlaluan..!!" Ryu memaki sambil beberapa kali menjitak kepala Kobe. Tangannya melingkari leher Kobe.

"Huh...kebiasaan," Yuri menghela napas melihatnya kemudian kembali ke balkon untuk memotong beberapa bunga yang mekar.

Ia sudah terbiasa melihat Ryu dan Kobe seperti itu.

"Dasar laki-laki, berantem terus." gerutu Yuri.

***

Jam sepuluh siang.

"Yoshi, benar ini tempatnya?"

Kenzie membetulkan letak kacamata hitamnya.

"Sepertinya benar, ini alamat baru yang aku dapat dari ruang wali dosen." Yoshi memakai topi coklatnya.

"Masih tidak aktif?" tanya Toru.

"Tidak, sejak tadi malam ponselnya tidak aktif terus."

Kenzie memasukan ponselnya kembali ke dalam saku celana katun creamnya. Ia mengambil sekaleng minuman dari belakang jok mobil Jeep kuningnya.

"Apa boleh buat, kita harus menemuinya. Ayo turun," kata Yoshi sambil memakai kacamata coklatnya.

"Aku tunggu disini saja," kata Toru malas.

"Aku juga tidak mau ikut. Kau tau? aku tidak yakin kau benar-benar mendapatkan alamat yang benar. Ingat kejadian waktu itu? Kau salah menunjukan jalan dan membuat kita semua kelaparan karena tersesat di hutan."

Kenzie meneguk kembali minumannya.

"Dan kedinginan, ingat itu. Kita kehujanan, Ryu sampai sakit demam. Jadi kau saja yang mencarinya sendiri. Telpon kami bila kau sudah menemukannya, ok?"

Early weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang