Vol 3 halaman 20

11.6K 208 9
                                    

Tidak sampai sepuluh menit, pesanan mereka pun datang.

Yuri geleng-geleng kepala melihat cara Mine makan. Sahabatnya itu tidak membiarkan cup cake pesanannya berlama-lama diatas piring. Satu persatu masuk kedalam mulutnya dengan cepat.

Tanpa terasa oleh mereka satu jam telah berlalu, sekarang waktu menunjukan pukul setengah tiga sore.

"Huwaaah ... kenyangnya ..." Mine melangkah keluar cafe seraya mengusap-usap perutnya.

Sebelas buah cup cake dan segelas besar mocca latte sudah berhasil ia habiskan sendiri.

Dibelakangnya Yuri berjalan mengikuti sambil menekuk wajah dalam-dalam.

"Yuri chan, kapan-kapan kita kesini lagi yah? Cup cake dan mocca latte-nya benar-benar sangat enak," kata Mine ceria.

Yang diajak bicara malah sibuk sendiri melihat-lihat isi dompetnya.

"Yuri chan ...!" mine berteriak lagi.

"Mine, kau menguras habis uang jajanku. Bagaimana kita pulang kalau begini?" keluh Yuri.

Ia membolak-balikan dompetnya kesana-kesini. Benar-benar tidak bersisa satu lembar yen pun di dalamnya.

"Emm ... Tentu saja naik taksi, masa harus jalan kaki."

"Tapi bayarnya?"

Mine mengandeng lengan Yuri dengan riang, "tenang saja. Aku yang bayar, sebagai tanda terima kasih atas traktiranmu hari ini maka aku akan mengantarmu pulang."

Yuri kaget mendengarnya, "a-apa?! Ti-tidak-tidak perlu. A-aku ... Hei, katanya uang jajanmu sudah habis?"

"Memang, tapi uang untuk ongkos pulang masih ada. Sudah ah, jangan protes. Sebagai teman yang baik, masa aku tega membiarkan sahabat baikku ini pulang berjalan sampai kakinya bengkak-bengkak. Lagi pula sepertinya salju akan turun sebentar lagi."

"Ta-tapi a-ku ..."

"Taksi ...!" seru Mine memberhentikan sebuah mobil yang hampir melewati mereka.

"Ah tolong aku, lebih baik kakiku bengkak-bengkak saja, dari pada ... aaah ...!" gemas Yuri dihati.

Mine menarik paksa tangan Yuri tanpa menghiraukan penolakan dari sahabatnya ini.

Pikiran Mine jadi semakin penasaran dan curiga melihat tingkah yuri yang tidak tenang seperti ini.

Kenapa Yuri kelihatan sepanik ini? Pikirnya, "memangnya ada apa dengan apartemennya itu? Ah, aku harus menyelidikinya," kata Mine dihati sambil diam-diam melirik sahabatnya.

Tidak sampai lima belas menit, Yuri sudah meminta kepada supir taksi untuk menghentikan mobilnya.

"Benar, sampai disini saja?" tanya Mine heran melihat gedung-gedung perkantoran disekitarnya.

Yuri mengangguk cepat, "sudah dekat kok, jadi mengantarnya sampai sini saja ya Mine chan? Lagi pula hari semakin sore, nanti ayahmu khawatir," bujuk Yuri hati-hati.

Ia tidak mau kalau Mine sampai mengantarnya ke gedung apartemen. Ia takut nanti tiba-tiba sahabatnya ini akan memaksa ikut masuk ke apartemen. Bisa repot kalau begitu, pikirnya.

Mine tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menganggukan kepala dengan kecewa.

"Ya sudah, kalau begitu sampai jumpa besok yah?"

"Ya, sampai jumpa," balas Yuri berusaha ceria.

Taksi yang membawa Mine pun berlalu dari hadapan Yuri.

"Mine, maafkan aku," gumannya merasa bersalah.

Yuri mendesah, untung saja Mine tidak bersikeras untuk mengantarnya pulang, pikirnya.

Yuri pun akhirnya melangkah meninggalkan tempat itu, butuh waktu sekitar setengah jam apabila berjalan dari tempatnya kini menuju gedung apartemennya.

"Yah, mau bagaimana lagi?" keluh Yuri dihati.

Lebih baik berjalan kaki selama itu dari pada harus diantar oleh Mine. Bisa gawatkan kalau Mine sampai mampir ke apartemennya.

Apalagi bila sahabatnya itu sampai tahu dirinya sudah menikah dan tinggal berdua bersama Ryu.

Ia tidak dapat membayangkannya. Mungkin Mine akan langsung jatuh pingsan ditempatnya.

"Ah, kenapa nasibku bisa begini? Ryu memang tampan dan baik, aku tidak menyesal telah menikah dengannya walau tanpa pacaran atau kenalan terlebih dahulu. Tapi ini-nih," Yuri menarik pelan seragam sekolahnya.

"Tapi apa? Sebentar lagi kau lulus dari sekolah kan?"

Sebuah suara laki-laki dari arah belakang membuat Yuri sangat terkejut.

Dalam sekejap Yuri seakan langsung berubah menjadi patung.

Suara tawa renyah yang masih terdengar membuat Yuri cepat-cepat membalikan badannya.

"Kau?!" serunya super kaget.

Seorang pemuda kurus berpenampilan keren tampak masih tertawa dihadapannya.

Rambutnya yang sedikit pirang tertutup oleh topi jaket tebalnya yang berwarna coklat tua.

"Nyonya Yoroshii, ayo, aku antar pulang," katanya dengan gaya yang dibuat-buat.

"Hah, nyonya? Aku belum tua Yoshi ..." protes Yuri cepat.

Bibirnya yang tanpa sengaja mengerucut membuat Yoshi kembali tertawa.

"Ya-ya, nona muda. Ah, tidak-tidak yang benar nona Yoroshii. Silakan, mobil kerenku ada disebelah sana," tunjuknya bangga pada sebuah mobil Alfaromeo berwarna hitam yang terparkir beberapa meter dibelakang mereka.

"Wow, mobilmu ganti lagi? Kemana mobil ferrarimu yang kemarin?"

"Aku sudah bosan," katanya enteng, "kau penumpang pertamaku nona. Jadi tersenyumlah."

Mau tidak mau Yuri menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman.

Teman Ryu yang satu ini memang pintar berkata-kata manis.

Tidak mengherankan kalau pacarnya itu banyak sekali.

"hei, kenapa bengong. Ayo, Ryu pasti sudah gelisah menunggumu," tegur Yoshi.

Ia berdiri disamping pintu mobilnya yang sudah terbuka.

Yuri yang belum bergerak dari tempatnya segera berlari mendekati mobil Yoshi kala mendengar nama suaminya itu disebut.

Ia ingin segera sampai ke apartemennya untuk melihat keadaan Ryu.

Tadi pagi saat hendak pergi kesekolah bersama Kobe, demam suaminya itu sudah turun.

Tapi entah sekarang, setiap Yuri menanyakan keadaan Ryu lewat Ponsel, selalu saja jawabannya 'aku baik-baik saja'.

Early weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang