Vol 3 halaman 12

12.2K 231 15
                                    

***

Jam sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam.

Mata Yuri semakin bengkak karena terlalu lama menangis.

Tadi Kobe dan ketiga teman Ryu menceritakan kepanikan suaminya itu kala mendapati dirinya tidak ada di sekolah dan apartemen dalam versi mereka masing-masing.

Yuri yang baru mengetahuinya jadi terus menyalahkan dirinya sendiri.

Perlahan Yuri menutup tirai jendela kamarnya. Salju masih terus berlomba-lomba turun ke bumi.

"Ryu ..." desahnya.

Sepasang mata coklat Yuri memandang sedih ke arah tempat tidur. Sejenak Yuri duduk di ujung tempat tidur Ryu sambil memandangi tabung oksigen dan kantung cairan infus yang ada dikamarnya kini.

Dengan bantuan beberapa orang yang lewat, Kobe dan Yuri membawa Ryu ke klinik yang ada didepan gedung apartemennya.

Kobe kebingungan saat Yuri tidak mau masuk ke dalam klinik karena suasana disana mirip rumah sakit.

Walaupun sudah dibujuk Yuri tetap tidak mau masuk. Rasa takutnya kepada rumah sakit membuatnya nampak tersiksa.

Kobe yang melihat kakak iparnya itu menangis terus sambil gemetar menahan rasa takut diluar klinik akhirnya meminta kepada dokter supaya Ryu dirawat diapartemennya saja.

"Yuri ..." suara Ryu yang gelisah samar-samar terdengar dari mulutnya yang tertutup alat oksigen.

Yuri kembali menangis sambil menyentuh tangan Ryu.

"Dingin," gumannya heran.

ia melihat tubuh Ryu agak menggigil padahal dua buah selimut telah menutupi tubuhnya yang tinggi.

Yuri berpikir sejenak kemudian bangkit mengambil selimut kuning yang ada di atas tempat tidurnya kemudian menyelimuti Ryu dengan hati-hati.

Tangannya kembali menggosok-gosok tangan Ryu kemudian menggengamnya erat-erat. Ada rasa penyesalan dan takut kehilangan yang memenuhi hatinya.

"Yuri ...." Ryu mengigau memanggil namanya.

"Aku disini, maafkan aku Ryu, maafkan aku," bisik Yuri penuh sesal.

Ia benar-benar tidak menyangka Ryu akan jadi seperti ini.

Hatinya gelisah dan khawatir melihat Ryu yang belum sadarkan diri lagi.

Tangan Yuri bergerak menyeka keringat yang membasahi kening dan leher Ryu dengan hati-hati.

Mata Ryu masih saja terpejam.

"Yu-Yuri ... Yuri percayalah padaku ...."

Ryu mengigau lagi, air mata Yuri kembali jatuh saat mendengarnya.

"Maafkan aku Ryu, maaf. Buka matamu Ryu, buka matamu," bisik Yuri sedih.

Ia kesal pada dirinya sendiri. Ia menyesal karena telah meragukan kata-kata Ryu.

Ia juga menyesal karena telah menuruti rasa kesalnya hanya gara-gara melihat Ryu menyentuh lengan gadis lain.

Kobe bilang padanya tadi bahwa Ryu terpaksa menyeret wanita itu keluar karena ia tidak mau pergi. Ryu takut wanita itu akan mencelakainya.

"Yuri, kau dimana? Yuri ..." suara Ryu yang sedikit serak terdengar lagi olehnya.

Yuri yang melihat suaminya masih menggigil segera menyentuh tangan dan telapak kakinya.

"Kenapa masih dingin?" tanyanya heran.

Padahal tiga lembar selimut telah menutupi tubuh Ryu. Penghangat ruangan pun telah dinyalakan.

Tanpa berpikir lagi Yuri naik keatas tempat tidur.

Menyandarkan kepala Ryu dibahunya kemudian memeluknya seakan-akan tidak rela melepaskannya.

Yuri berusaha menghangatkan tubuh Ryu yang masih saja menggigil.

Sesekali tangan Yuri membelai rambut hitam Ryu yang agak basah oleh keringat. Ia juga menyeka keringat suaminya dengan handuk kecil sambil mendengarkan suara serak Ryu yang terus mengigau memanggil-manggil namanya sampai alam mimpi perlahan menyedot kesadarannya.

"Kakak ip...."

Langkah Kobe dan Toru seketika terhenti.

Mereka saling pandang sejenak sampai akhirnya Kobe meminum segelas susu hangat yang sengaja dibawanya untuk Yuri.

"Jadi ... sekarang bagaimana dok?" tanya Kobe sambil menatap Toru yang masih terbengong-bengong melihat Yuri yang tengah tidur pulas sambil memeluk Ryu.

"E ... sebentar," Toru berjalan mengendap-ngendap dengan ragu.

Ia jadi serba salah.

Bagaimana cara memeriksanya kalau posisi pasiennya seperti ini.

Tangan Yuri melingkar di dada Ryu, sedangkan kepala Yuri menempel pada kening Ryu.

Toru menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Dengan hati-hati ia menempelkan stetoskop pada dada Ryu yang terbalut kaos abu-abu dan agak terhalang oleh tangan Yuri.

Setelah itu Toru memeriksa kantung infusnya dan mengatur tabung oksigen yang Ryu hirup.

"Bagaimana?" tanya Kobe harap-harap cemas.

Toru tersenyum sambil melangkah keluar kamar.

"Ajaib," katanya sambil tersenyum-senyum sendiri.

"Apa?" tanya Kenzie tiba-tiba menyela.

"Kalau keadaannya terus membaik seperti ini, besok Ryu sadar".

"Apa?! Tapi dokter klinik itu bilang ...."

"Aku-kan bilang ajaib," kata Toru menyela kata-kata Kobe.

"Ajaib?" tanya Kobe masih tidak mengerti.

"Ah, aku iri. Ha..ha..ha.. Dua pria cap playboy kalah telak oleh tuan pendiam," tawa Toru tiba-tiba meledak.

Ia menjatuhkan dirinya di atas kasur lipat yang sudah disiapkan Kobe.

Kenzie dan yoshi memandang tidak mengerti.

Yang dipandang malah menarik Kobe kemudian memeluknya erat-erat.

Kobe meronta-ronta berontak namun tenaga Toru sangat besar sehingga ia tidak bisa melepaskan diri.

Kenzie dan Yoshi geleng-geleng kepala melihatnya.

"Jadi ... kira-kira benda setajam apa yang bisa membuat jaket kulit tebal dan selentur ini sobek dibagian tengah seperti ini?" Yoshi berkata perlahan-lahan sambil membolak-balik jaket di tangannya.

Kenzie manggut-manggut ikut berpikir.

Toru merebut jaket yang Yoshi pegang untuk memeriksanya.

Dua jarinya bisa melewati bagian yang sobek itu.

"Hei, ini kan jaket kakak ipar yang tadi dipakainya," Kobe merebutnya panik, "kok, sobek? ah ya, sebentar," Kobe bergegas mencari sesuatu di keranjang cucian milik Yuri.

Early weddingWhere stories live. Discover now