Vol 3 halaman 11

12.7K 226 26
                                    

Nama itu keluar begitu saja dari bibirnya saat pandangan matanya tepat mengarah ke seberang jalan raya.

Seorang laki-laki yang limbung merosot ke jalan trotoar membuat Yuri tanpa sadar berteriak sambil berlari menyebrangi jalan raya tanpa melihat kanan kirinya.

Suara-suara klakson mobil dan para supir yang memakinya tidak ia hiraukan.

Yuri terus berlari menyebrangi jalan menghampiri suaminya yang nyaris pingsan.

"Ryu ...! Ya ampun. Ryu, Ryu sadarlah, kau mendengarku? Ryu ... Ryu ...!"

Yuri menarik kepala Ryu kepangkuannya.

Dalam tangis ia terus memanggil nama suaminya.

Mata Ryu terpejam, Yuri menarik tangannya sebentar saat menyadari kening suaminya itu panas sedangkan tangannya sangat dingin.

Ryu demam, pakaiannya basah dan lembab.

"Ryu bangun, bertahanlah. Aku mohon, bangun Ryu, buka matamu, aku mohon ...."

Yuri kembali menangis sambil menggosokan tangannya pada tangan Ryu.

Satu-dua orang yang kebetulan lewat, hanya berhenti terpaku didekat mereka.

Tangis Yuri semakin menjadi saat melihat suaminya itu tidak kunjung bergerak.

Semua rasa yang tadi menyakitkan hatinya mendadak hilang digantikan oleh rasa cemas yang membuat hatinya lebih sedih.

Yuri kembali mengosok-gosok tangan Ryu, memberi hawa hangat dari mulutnya sambil tidak henti-hentinya menangis.

"Ryu, Ryu ... bangun. Ryu, aku mohon buka matamu Ryu, ayo buka matamu ...."

Yuri kembali tergugu, ia belum mengetahui bahwa Ryu seperti ini karena berjam-jam berlari kesana-kesini menahan rasa dingin untuk mencarinya.

"Yu-Yuri ...."

Suara serak dan pelan membuat mata Yuri membulat. Ia tersenyum sambil menyeka airmatanya dengan cepat.

"Ryu, Ryu, kau sadar. bertahanlah, aku mohon. Apa kau kuat berdiri? Aku akan memapahmu. Kita pulang."

Ryu memejamkan matanya sesaat.

"Ryu ...." Yuri hampir saja menangis lagi, namun mata Ryu kembali terbuka.

"Syukurlah ... kau baik-baik saja," kata Ryu susah payah, tangannya yang gemetar terulur hendak menyentuh wajah yang seharian ini sangat dikhawatirkannya, namun rasa sangat lemas, lelah, dingin dan pusing yang kembali terasa olehnya membuat sepasang mata itu kembali terpejam.

Yuri yang menangkap tangan Ryu sebelum jatuh terkulai kembali menangis sambil menguncang-guncang jas yang Ryu pakai.

Ada rasa takut kehilangan yang muncul dihatinya.

Tidak jauh dari sana sebuah motor sport berwarna merah tampak menyisi. Orang yang mengendarainya membuka helm yang dipakainya dengan tergesa-gesa.

Ia berlari mendekat menembus hujan salju yang perlahan semakin lebat.

"Kakak ipar? Ryu? Ya ampun, Ryu, Ryu ...!" kata Kobe panik.

"Ko-Kobe ... Tolong ..." kata Yuri disela tangisnya.

***

"Aaagh ....! Berengsek, sakit bodoh!" hardik suara wanita dari kamar tidurnya.

Pelayan tua yang sudah terbiasa mendengar kemarahan-kemarahannya tidak menghentikan kegiatannya yang telah membuat wanita itu terus memaki-maki dirinya.

"Aaw ... sial, pelan-pelan. Berengsek, pisau berengsek!!"

Wanita itu kembali berseru saat pelayannya mengucurkan obat merah pada luka di ruas-ruas jari bagian tengahnya.

Mungkin karena panik, wanita itu baru menyadari ke-empat ruas jarinya tersayat hingga berdarah saat membuka pintu rumahnya tadi.

Noda darah juga mengotori tas dan dompetnya, pintu mobil dan setirnya. Ada kemungkinan lembaran uang yang tadi ia berikan pada kasir cafe juga terkena darahnya.

"Sudah selesai nona," kata pelayan tua itu sabar.

"Cepat bereskan, lalu keluar ...!" serunya marah.

Pelayan tua itu menurutinya dengan patuh.

"Cepat, lambat sekali."

"I-iya nona," kata pelayan itu mulai panik.

"Cepat keluar ...! Tunggu apalagi, keluar dari kamarku sekarang ...!"

Pelayan itu semakin ketakutan, dengan tergesa-gesa ia menutup pintu kamar majikannya.

"Aaagh, berengsek. Bodoh, pisau sial ...!"

Geram wanita itu sambil membanting bantal-bantal ke lantai.

Ia marah, marah pada dirinya sendiri yang ceroboh.

Pisau lipat yang dimilikinya itu tajam di ke-dua sisinya.

Karena panik, saat di cafe tadi, ia melipat pisaunya dengan mendorong sisi satunya dengan tangan.

Akibatnya, ruas-ruas tengah jari-jarinya tersayat cukup dalam.

Setelah amarahnya agak mereda, sebelah tangannya yang tidak terluka menarik laci meja tempat tidurnya, mengeluarkan selembar foto berukuran besar.

Dengan telunjuknya yang terluka ia mulai menelusuri garis wajah tampan yang ada di dalam foto itu.

"Ryu, aku tidak melukai sepupumu bukan?" katanya berbisik, bibirnya tersenyum penuh kelegaan.

Ia sangat yakin pisau itu belum mengenai orang yang dipanggil oleh para pelayan cafe nona Yoroshii.

"Lalu kenapa Ryu tadi meneleponku?" pertanyaan itu tiba-tiba muncul dibenaknya.

Hatinya kembali bertempur melawan rasa takut dan gelisah.

Sebagian hatinya ketakutan sedangkan yang sebagian lagi menyalahkan dirinya karena telah membiarkan kesempatan langka itu hilang.

Ia menyesal tidak mengangkat telepon dari Ryu tadi. Siapa tahu Ryu tadi akan mengajaknya kencan, bukan membuat perhitungan atas apa yang dialami oleh sepupunya, pikirnya.

Ia sangat yakin tadi pisaunya sedikitpun tidak menyentuh sasarannya.

Rasa penasaran muncul kala ia mengingat wajah gadis itu.

"Benarkah gadis ingusan itu sepupu Ryu?" tanya hatinya.

Ia masih belum sepenuhnya percaya.

Mengingat sikap Ryu dipesta ulang tahun Kenzie waktu itu.

Mana ada orang yang mencium wajah sepupunya dengan mesra seperti itu? Mana ada orang yang menatap sepupunya dengan pandangan mesra seperti itu.

Mengingat itu semua membuat darahnya kembali mendidih.

Selama ini Ryu tidak pernah menggandeng wanita selain ibunya sendiri.

"Aku harus memastikannya, besok ya besok"

Early weddingWhere stories live. Discover now