Vol 3 halaman 17

12.1K 226 18
                                    

"Lalu?" tanya Ryu pura-pura tidak mengerti.

Yuri merebut mangkuk bubur yang Ryu pegang. Bibirnya masih maju beberapa centi, ia yakin Ryu tengah menggodanya kini.

Ryu terkekeh pelan melihat bibir istrinya, saat ini hatinya memang merasa senang karena menyadari sikap Yuri yang semakin membuka diri kepadanya.

Dengan isyarat matanya Yuri meminta Ryu untuk membuka mulut.

Namun Ryu menggelengkan kepalanya.

"Ah, ayolah Ryu. Kau baru makan sedikit," bujuk Yuri.

Ryu kembali menggelengkan kepalanya, "aku merasa mual dan pusing Yuri," kata Ryu mendadak lemas.

Ia kembali merebahkan badannya.

Yuri meletakan sendok yang tengah dipegangnya tadi kedalam mangkuk.

Perlahan sebelah tangannya mengusap rambut hitam Ryu yang agak berantakan dengan lembut.

Ryu membimbing tangan Yuri untuk menyentuh keningnya yang agak berdenyut. Sejenak ia memejamkan matanya.

"Beneran masih pusing yah?" tanya Yuri cemas.

Ryu mengangguk pelan, kepalanya memang masih terasa berat.

Yuri menggigiti bibir bawahnya, rasa bersalah itu muncul lagi membuat hatinya merasa tidak enak.

"Jangan khawatir, aku tidak apa-apa."

"Tidak apa-apa apanya? Wajahmu pucat begini."

Ryu kembali tersenyum, "aku hanya merasa sedikit pusing istriku, jangan khawatir, ok?"

Wajah yuri memerah karena Ryu memanggilnya dengan kata istriku. Entah kenapa ia tiba-tiba rasa gugup menyerangnya. Ia merasa belum terbiasa mendengarnya, padahal sudah hampir sebulan lebih mereka menikah dan tinggal bersama.

"Hmm ... yang pagi tadi masih belum cukup yah?" celetuk Kobe sambil cengengesan.

Yuri segera menarik tangannya dari kening Ryu.

"A-apa maksudmu?" tanya Yuri tidak mengerti.

"Mesra-mesraannya. Ah, pipiku habis diciumi oleh Toru," katanya sambil mengendikan bahunya.

"A-apa?!" seru Yuri dan Ryu bersamaan.

Mereka berdua kaget mendengarnya, "itu berarti?" Kata Ryu sambil memandang wajah istrinya yang sudah semakin merona.

Kobe segera menutup mulutnya dengan tangan ketika kedua orang dihadapannya memandang penuh selidik. Kobe memaki dirinya sendiri, sepertinya ia baru menyadari sesuatu.

"Opps ... kami tidak mengintip kok, Sungguh. Kami cuma tidak sengaja melihatnya. Maksudku, kami tidak melihat semuanya, hanya sewaktu kakak ipar ..." Kobe memajukan bibirnya seperti hendak mencium.

Wajah Yuri semakin memerah karena kesal dan malu, "kyaa ...! bocah usil ...!" serunya keras-keras.

Kobe menelan ludahnya sebelum menghindar dari kepalan tangan Yuri.

"Jangan lari, dasar bocah genit usilan, kemari kau ...!" Yuri mengambil raket miliknya yang tergantung didinding kemudian mengejar Kobe.

Mereka terus bekejar-kejaran, keluar dari pintu kamar ini kemudian masuk dari pintu kamar satunya.

"Yay, Ryu ... Tolong jinakan Kakak ipar ...!" teriak Kobe sambil terus berlari.

"Apa katamu? Awas yah, jangan lari bocah kurang ajar!" seru Yuri tidak terima.

"Enak saja menyuruh Ryu menjinakan aku, memangnya aku ini apa?!" geramnya dihati sambil terus mengejar Kobe.

Diam-diam Ryu tersenyum kecil, ia teringat kejadian tadi pagi saat dirinya baru sadarkan diri. Sungguh kemajuan yang sangat besar pikirnya.

Yuri tidur sambil memeluknya semalaman, Toru menceritakan semua itu kepadanya pagi tadi. Saat bangun tadi pagi juga ia tidak mendengar ada suara teriakan ditelinganya, padahal terakhir kali saat Yuri terbangun dengan posisi tengah dipeluk olehnya, suara teriakan histeris istrinya itu terdengar kemana-mana. Istrinya itu juga memukuli punggung dan dadanya terus menerus sambil menangis.

Ryu mengerti, istrinya seperti itu bukan karena ia tidak suka kepadanya, tapi karena kaget dan perasaan belum terbiasa oleh sentuhan-sentuhannya.

Yuri pernah mengatakan hal itu kepadanya.

"Aaw, ampun ... Kakak ipar ... Aww, hentikan ... Aww ... Ryu tolong aku ...!" Kobe kembali berhasil melarikan diri setelah beberapa kali raket yang dipegang Yuri mengenai kakinya.

Ryu yang mendengar rintihan Kobe, segera bangkit berdiri dari tempat tidurnya. Istrinya itu perlu segera dihentikan bila tidak mau melihat adik sepupunya yang usil itu babak belur.

Tanpa berpikir lagi ia melepas jarum infus yang masih menempel di pergelangan tangannya.

Dalam sekali gerakan ia berhasil menangkap tubuh Yuri yang tengah berlari melewatinya.

Tubuh Ryu yang masih lemah membuat mereka berdua limbung jatuh keatas tempat tidur.

"Ryu?!" seru Yuri kaget dengan napas terputus-putus, "infus-an-nya?"

Yuri bertambah kaget saat melihat jarum infus sudah lepas dari pergelangan tangan suaminya.

"Jangan berlari lagi, temani aku tidur. Hoaam ..." Ryu menguap kecil, pura-pura tidak memedulikan kekagetan istrinya.

"Ta-tapi ... bocah itu."

"Jangan pedulikan dia. Kemari, mendekatlah, aku sangat ngantuk," Ryu menarik Yuri mendekat.

Dengan posisi menyamping ia menyandarkan kepala Yuri kedadanya. Ia juga melingkarkan tangannya di pinggang Yuri kemudian mengecup puncak kepala istrinya itu sebelum mulai memejamkan matanya.

Yuri mengerjap-ngerjapkan matanya, ia masih kaget atas tindakan Ryu yang tiba-tiba ini.

Suara jantung Ryu yang berdebar kencang terdengar jelas oleh telinganya.

Perlahan ia mendongakan kepalanya, mata Ryu terpejam, hembusan napasnya yang mulai teratur hangat menerpa wajahnya.

"Wajah tampan ini milikku," kata Yuri dihatinya.

Sesaat sebelah tangannya menyentuh pipi Ryu yang masih nampak pucat.

Yuri kembali menenggelamkan kepalanya ke dada Ryu. Merasakan kehangatan sekaligus mendengar detak jantung Ryu yang terdengar jelas berlomba dengan detak jantungnya yang juga tidak kalah kencangnya.

Yuri tersenyum kemudian menyelipkan tangannya di pinggang Ryu.

Early weddingWhere stories live. Discover now