Dania menahan tangis.
"Erfan aku kan pernah bilang. Bagaimanapun kamu aku tetap mencintaimu."
"Aku takut kamu marah."
"Saat kamu nyamar jadi Dani pun aku gak marah kan?"
Entah dengan cara apa lagi Erfan harus bersyukur telah dipertemukan dengan sesosok wanita hebat seperti dirinya. Wanita hebat no 1 tetap Ibu dong.
"Makasih." Erfan memeluknya. Kalau tidak salah ada beberapa tetes air yang jatuh di pundaknya.
"Tapi kamu harus tau ini juga."
"Apa?" Dania melepaskan diri
"Semua ini ada hubungannya sama Lilis."
"Lilis?"
Plis jangan bilang kalau Lilis lah perempuan yang akan dinikahi Ayahnya dulu. Tapi bagaimana mungkin? Lilis masih muda. Dan masih sekolah. Tapi tertundanya sekolah Lilis 1 tahun yang lalu patut jadi penguat rasa curiga ini.
"Iya Lilis itu..."
"Bang ada temen tuh." kata Aril tiba-tiba datang. Ruangan ini masih lebar. Belum ada penyekatan atau pemisahan akan dijadikan apa ini nantinya.
"Siapa?" dengan cepat Aril berlari lagi ke lantai bawah. Mungkin pertanyaan itu belum sempat didengarnya.
"Ayo." Erfan bangkit dan mengajak Dania ikut turun.
Awalnya perasaan Dania sudah lega setelah mendengar semua penjelasan dari sang subjek langsung. Tapi setelah mendengar kata Lilis emosionalnya langsung naik. Kalian tau sendiri kan alasan Dania suka sensi kalo udah bahas Lilis.
Mungkin setelah menemui temannya nanti pernyataan tentang Lilis itu bisa terungkap.
Di ruang tamu ada Dian, Aril dan Ibunya yang sedang duduk. Di depan mereka terdapat beberapa cup minuman dingin yang dibeli Aril sebelumnya.
"Hai." sapa Dian tersenyum. Namun lengkungan itu langsung hilang setelah sadar ada Dania disana.
"Gue jelasin."
Keduanya duduk lalu Erfan mulai menceritakan semuanya. Semua alasan mengapa Dania ada disini dan mengapa Erfan memilih untuk jujur padanya.
"Ini pilihanku bu. Bagaimana mungkin aku tetap brengsek setelah tau wanita yang aku cintai pun menerima aku apa adanya." lanjut Erfan.
Ibunya tersenyum. Begitupun Dian. Aril beberapa menit yang lalu pergi ke toilet.
"Ibu percayakan semuanya padamu."
Semuanya tersenyum. Lega rasanya.
"Maafin gue Dania. Gue nggak bermaksud buat rebut cowok bangsat ini dari lo kok." kata Dian. Terkadang perkataannya itu tidak selemah lembut wajahnya.
"Iya Dian sama-sama."
"Maafin Ibu juga ya. Kalo nggak dipaksa, Ibu mana tega ngebohongin perempuan sebaik kamu."
"Iya bu gakpapa. Aku ngerti kok."
Hening sesaat.
"Ehem maksud aku gakpapa tante."
"Manggil Ibu juga boleh kok. Kan emang calon Ibu mertua kamu."
"Hehehe jadi malu."
Semuanya tertawa lepas. Akhirnya masalah dan teka-teki pun terpecahkan.
Suara gemuruh mulai terdengar. Mungkin sebentar lagi hujan. Ibu meminta Erfan untuk mengantar Dania ke rumahnya. Dian masih ingin membantu beres-beres rumah.
Tadinya Dania pikir ia tak bisa menaiki si Jamal motor gede kesayangannya Erfan itu. Kalaupun iya, maka dia akan lebih rindu Jamal daripada Erfan.
Motor mereka melaju melewati kossan baru Reynand yang letaknya persis di samping kanan rumah keluarga Erfan.
"Good luck." kata Reynand yang memperhatikan dibalik jendela.
Ia meletakkan figura diatas meja. Fotonya dengan sang kekasih. Kenangan itu terlihat lagi. Ia memejamkan mata dan mulai berbisik.
"Nama gue Reynand Alfarizi. Panggil aja Rey,"
Oke Rey.
"Oke next. Umur gue 19 tahun. Gue terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Baik itu dalam keseharian, pergaulan, bahkan jumlah anggota di keluarga kami. Gue anak satu-satunya. Ayah gue seorang supir taksi. Sedangkan Ibu, beliau seorang Ibu Rumah Tangga yang kesehariannya mengurus rumah dan keluarga. Lanjut ke hubungan asmara. Di zaman now yang serba canggih dan royal ini gue beruntung bisa memilikinya, dia si Hani ku tersayang. Disaat cewek lain lebih sibuk memilah harta, tapi Hani malah memilihku yang tak punya apa-apa. Well disitu gue ngerasa cowok yang paling beruntung di dunia. Tapi gue malah menyia-nyiakan itu semua. Kejadian 3 tahun lalu itu buat semuanya hilang."
Flashback mode on.
"Ini makanannya." Hani dengan semangat menyajikan masakannya di atas meja makan. Ayah dan Ibu Rey juga kegirangan.
"Ayah bangga punya calon menantu kayak kamu."
"Hehe Ayah bisa aja. Ayo makan makan."
"Hani." kata Rey. Hani menoleh.
"Love you."
"Kamu gak malu apa? Ada Ayah sama Ibu disini."
"Nggak." Rey senyum. Hani ikut senyum.
"Udah ayo makan. Jangan bikin kita ngiri deh." kata Ayah sambil ketawa
"Ayah kalo udah tua diem aja. Jangan pengen sosweet mulu."
"Ibu. Love you."
"Hahaha." mereka ketawa
Malam itu indah. Sangat! Tanpa henti Rey bersyukur akan nikmatnya hidup yang telah Tuhan berikan.
Sehabis makan Rey dan Hani pergi. Apel ceritanya. Mereka duduk di taman kota dan menikmati es krim.
Kring. Nada notifikasi dari hp Hani terdengar. Rey mengambilnya dan membaca sebuah pesan dari seorang lelaki.
Entah apa isi pesannya yang pasti itu semua buat Rey marah.
"Rey ini nggak seperti yang kamu pikir."
"Aku kira kamu yang terbaik buatku." Rey pergi dengan amarah. Hani mencoba mengikutinya dan memohon.
"Rey aku mohon. Aku bisa jelasin semuanya. Randi itu cuma.."
"Cuma apa? Sekarang selera kamu om om ya? Oke aku emang gak punya segalanya. Aku bahkan gak pernah sekalipun ngasih kado ulang tahun. Aku pikir kamu berbeda dari cewek diluaran sana yang sibuk milah harta cowok. Tapi ternyata sama aja." Rey berjalan cepat. Hani masih terus mengejarnya.
Titttt.... Brukkk....
Suara benturan terdengar begitu keras.
Rey berbalik. Nampak orang-orang tengah mengerumuni sesuatu di depan mobil truk itu. Hani? Apa korban tabrakan itu Hani?
Rey lantas berlari dan memeriksa. Wajahnya berlumuran darah. Ia khawatir setengah mati.
"Rey." teriak seseorang di depan sana.
"Hani."
Rey mendekatinya dan ia memeriksa apa benar itu Hani pacarnya?
Terserah kalian mau percaya atau tidak. Entah kenapa saat Rey memeluknya rasanya berbeda. Bukan sosok yang padat. Hani berubah menjadi bayangan yang tak bisa digenggam.
"Hani." mata Rey mulai berkaca-kaca
"Rey. Aku minta maaf. Sebelum aku pergi, aku mau jelasin semuanya ke kamu. Randi. Dia hanya seseorang yang Ibu jodohkan sama aku. Benar dia memang sudah berumur. Om om katamu. Tapi aku tak pernah sedikitpun menggubrisnya. Memang ini kenyataan yang pahit. Ini juga alasanku belum bisa bawa kamu ke rumah. Tapi yang pasti, selama ini aku menunggu waktu yang tepat untuk melawan Ibu."
"Hani. Maaf."
"Jaga dirimu baik-baik. Tolong kuburkan aku disamping makam Ayah. Selamat tinggal, Rey."
Flashback selesai.
"Sampai kapanpun kamu yang terbaik, Hani."
•••